Sabtu, 12 Juli 2025

Polarisasi Tidak Pernah Usai

Demontrasi mahasiswa di Padang 2022

PEMILU SUDAH berlalu lama. Polarisasi tidak pernah usai.  Namun, itu memang gejala di banyak negara, termasuk Indonesia. Wow.  Tapi benarkah itu terjadi secara alami? 

Jawabannya: tidak. Polarisasi tidak pernah usai, karena memang dipelihara oleh para tokoh politik atau kalangan elite. Bukan untuk menyelesaikan masalah, melainkan  justru untuk mempertahankan pengaruh dan kekuasaan.


Polarisasi yang dipelihara demi kekuasaan

Tokoh-tokoh publik tahu bahwa keterbelahan masyarakat bisa menciptakan loyalitas yang kuat. Mestinya meraka juga tahu, itu juga rentan untuk menciptakan kegaduhan. Dengan loyalitas yang tinggi, muncullah narasi “kami” versus “mereka”, seolah hanya ada dua pilihan dan yang berbeda adalah musuh.

Bahkan ketika isu utama telah reda, narasi konflik tetap dihidupkan. Polarisasi bukan lagi soal ideologi, melainkan soal menjaga basis pendukung agar tetap solid dan tidak berpaling.

Menurut Brookings Institution, yang ditulis Darrel M. West dan Fred Dews, polarisasi di Amerika Serikat menjadi lebih tajam karena elite politik secara sadar menggunakan konflik identitas untuk mengonsolidasikan kekuatan. Hal serupa bisa kita lihat juga dalam konteks lokal: saat menjelang pemilu, isu-isu lama kerap dimunculkan kembali agar sentimen tetap menyala.


Identitas sosial dan post truth

qoute
Fenomena ini dapat dipahami melalui TeoriIdentitas Sosial yang dikembangkan oleh Henri Tajfel dan John Turner (1970). Teori ini menjelaskan bahwa manusia cenderung mengelompokkan diri ke dalam kelompok sosial tertentu (in-group), lalu membedakan diri dari kelompok lain (out-group).

Ketika elite mengeksploitasi kecenderungan ini, identitas bukan lagi sumber kedamaian, melainkan alat perpecahan. Konflik pun menjadi bagian dari strategi politik. Selama ada keuntungan dari keterbelahan, rekonsiliasi tidak akan pernah benar-benar diupayakan.

Unggahan konten di media sosial yang saling menyudutkan lawan, sesungguhnya merupakan upaya untuk mempererat barisan bukan untuk menyerang lawan.  Pasalnya, meskipun ditunjukkan data tentang kebohongan idolanya, kelompok pendukung ini tidak akan percaya. Fakta dianggap tidak sepenting emosi. Seperti prinsip post truth: kebenaran tidak lagi dinegosiasikan secara rasional, melainkan ditentukan oleh siapa yang bicara.


Algoritma media sosial

Jadi bila  ada media sosial mengunggah tentang keberhasilan Prabowo, misalnya, pastilah yang datang adalah orang-orang yang telah mengidentifikasi dengan Prabowo. Jika yang diunggah adalah keberhasilan Anis, yang datang pasti adalah orang yang mendukung Anis. Jadi, unggahan-uanggahan itu pada dua kubu atau tiga kubu sejatinya hanya untuk memperkuat dukungan.

Sebenarnya, semua orang sudah mengidentifikasikan dirinya. Henri Tajfel dan John Turner bilang, soal dukungan di media sosial tidak usah dibentuk secara formal. Pastilah orang-orang yang melihat konten tertentu di media sosial, apalagi sampai memberikan comment, pastinya memliki identitas sosial yang sama.  

Sudah begitu, algoritma media sosial juga ikut mendukung. Dengan echo chamber, orang hanya akan direkomendasikan dengan  konten sejenis yang sering diakses. Filter bubble juga membuat orang hanya melihat apa yang memang dia suka. Jadi, wajar saja, jika polarisasi tidak pernah usai.

Apakah polarisasi bisa berakhir? Bisa, bila para tokoh dan para elite ingin mengakhiri. Salam.

Baca juga:


Tidak ada komentar: