Jawabannya: tidak. Polarisasi tidak pernah usai, karena memang dipelihara oleh para tokoh politik atau kalangan elite. Bukan untuk menyelesaikan masalah, melainkan justru untuk mempertahankan pengaruh dan kekuasaan.
Polarisasi yang dipelihara demi kekuasaan
Tokoh-tokoh publik tahu bahwa keterbelahan masyarakat bisa menciptakan loyalitas yang kuat. Mestinya meraka juga tahu, itu juga rentan untuk menciptakan kegaduhan. Dengan loyalitas yang tinggi, muncullah narasi “kami” versus “mereka”, seolah hanya ada dua pilihan dan yang berbeda adalah musuh.
Bahkan ketika isu utama telah reda,
narasi konflik tetap dihidupkan. Polarisasi bukan lagi soal ideologi, melainkan soal
menjaga basis pendukung agar tetap solid dan tidak berpaling.
Menurut Brookings Institution, yang ditulis Darrel M. West dan Fred Dews, polarisasi di Amerika Serikat menjadi lebih tajam karena elite politik secara
sadar menggunakan konflik identitas untuk mengonsolidasikan kekuatan. Hal
serupa bisa kita lihat juga dalam konteks lokal: saat menjelang pemilu, isu-isu
lama kerap dimunculkan kembali agar sentimen tetap menyala.
Identitas sosial dan post truth
Fenomena ini dapat dipahami melalui TeoriIdentitas Sosial yang dikembangkan oleh Henri Tajfel dan John Turner (1970). Teori ini menjelaskan bahwa manusia cenderung mengelompokkan diri ke dalam kelompok sosial tertentu (in-group), lalu membedakan diri dari kelompok lain (out-group).
Ketika elite mengeksploitasi
kecenderungan ini, identitas bukan lagi sumber kedamaian, melainkan alat
perpecahan. Konflik pun menjadi bagian dari strategi politik. Selama ada
keuntungan dari keterbelahan, rekonsiliasi tidak akan pernah benar-benar
diupayakan.
Unggahan konten di media sosial yang
saling menyudutkan lawan, sesungguhnya merupakan upaya untuk mempererat barisan
bukan untuk menyerang lawan. Pasalnya,
meskipun ditunjukkan data tentang kebohongan idolanya, kelompok pendukung ini tidak
akan percaya. Fakta dianggap tidak sepenting emosi. Seperti prinsip post truth:
kebenaran tidak lagi dinegosiasikan secara rasional, melainkan ditentukan oleh
siapa yang bicara.
Algoritma media sosial
Jadi bila ada media sosial mengunggah tentang
keberhasilan Prabowo, misalnya, pastilah yang datang adalah orang-orang yang
telah mengidentifikasi dengan Prabowo. Jika yang diunggah adalah keberhasilan
Anis, yang datang pasti adalah orang yang mendukung Anis. Jadi, unggahan-uanggahan
itu pada dua kubu atau tiga kubu sejatinya hanya untuk memperkuat dukungan.
Sebenarnya, semua orang sudah mengidentifikasikan dirinya. Henri Tajfel dan John Turner bilang, soal
dukungan di media sosial tidak usah dibentuk secara formal. Pastilah
orang-orang yang melihat konten tertentu di media sosial, apalagi sampai
memberikan comment, pastinya memliki identitas sosial yang sama.
Sudah begitu, algoritma media sosial
juga ikut mendukung. Dengan echo chamber, orang hanya akan direkomendasikan
dengan konten sejenis yang sering
diakses. Filter bubble juga membuat orang hanya melihat apa yang memang dia
suka. Jadi, wajar saja, jika polarisasi tidak pernah usai.
Apakah polarisasi bisa berakhir? Bisa, bila para tokoh dan
para elite ingin mengakhiri. Salam.
Baca juga:
- Dear Redaktur, Muat dong Tulisan saya
- Bro, Ternyata Media Online Bukan Tanpa Batas
- Bahasa Betawi Enggak Bertingkat, Tapi Ada Etikanya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar