Tampilkan postingan dengan label politik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label politik. Tampilkan semua postingan

Minggu, 13 Juli 2025

Tuduhan Ijazah Jokowi Palsu dan Bias Konfirmasi


Prabowo Subianto welcomed the arrival of President Jokowi during a visit to his residence (2016)

TUDUHAN IJAZAH Jokowi palsu memang bikin pusing. Namun, sejatinya ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian kita semua dari kasus tersebut. 

Baru-baru ini, publik kembali dihebohkan oleh pernyataan kontroversial dari dr. Tifauzia_Tyassuma alias dr Tifa. Dokter yang satu ini enggan menjawab pertanyaan yang diajukan oleh polisi sebelum melihat ijazah asli Jokowi. 

"Karena pertanyaan-pertanyaan itu semua berkaitan dengan ijazah yang menjadi polemik selama 10 tahun ini. Ya tentu saja yang saya tanyakan dulu, yang saya klarifikasi dulu apakah ijazahnya ada? Soal ijazahnya tidak ada, ya kita percuma kan bertanya jawab gitu ya," ujarnya kepada Detik.com pada akhir pekan  pertama Juli 2025.


Logical fallacy dan bias konfirmasi

qoute
Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan logis: bagaimana seseorang bisa menyatakan ijazah Jokowi palsu tanpa pernah melihat yang aslinya? Hal ini mengarah pada praktik komunikasi yang cenderung spekulatif dan sarat asumsi. yang dapat disebut sebagai logical fallacy. Pernyataan tuduhan ijazah Jokowi palsu mengandung argumentum ad ignorantiam. Yakni: penarikan kesimpulan dari sesuatu belum terbukti kebenaran.

Seperti kita ketahui, penarikan kesimpulan ijazah Jokowi itu palsu hanya berdasarkan data digital ijazah jokowi. Padahal, ijazah Jokowi itu adalah kertas hasil cetakan dan tulisan tangan. . Dari sini saja sudah ada sesuatu yang perlu diperdebatan . 

Lalu soal skripsi Jokowi yang dituduh mengggunakan font terbaru, juga sudah dibantah dan tuduhan tidak terbukti. Lalu, bukti lain seperti lokasi KKN Jokowi yang ternyata terbukti benar dari masyarakat sekitar. Apa yang terjadi? Semua diabaikan.  

Lalu, ketika ada pengakuan Pak Kasmujo bahwa dia bukan pembimbing skripsi Jokowi dan hanya pembimbing akademik, langsung itu dianggap bahwa Jokowi tidak pernah membuat skripsi. Ketika UGM mengkonfirmasi bahwa ijazah Jokowiitu asli, kelompok pendukung ijazah Jokowi palsu  membantah. Mereka menganggap ada konspirasi. Begitu juga ketika Polri mengkonfirmasi keaslian ijazah Jokowi.

Dari sini kita dapat menarik pelajaran bahwa telah terjadi confirmation bias (bias konfirmasi). Yaitu fenomena seseorang cenderung mencari, mengingat, dan mempercayai informasi yang mendukung keyakinannya, dan mengabaikan bukti yang bertentangan. 

Jadi, jika seseorang sejak awal sudah meyakini bahwa Jokowi "bermasalah", bukti resmi apa pun cenderung dianggap sebagai rekayasa atau konspirasi. Saya kok  merasa persoalan ini tidak akan selesai. Bayangkan semua hal yang mengkonfirmasikan kebenaran dibantah.


Persepsi kolektif

Saya teringat Elisabeth Noelle-Neumann dengan spiral keheningannya.  Mengapa tuduhan ijazah palsu bisa begitu bertahan  lama? Karena media turut mendukungnya. Alhasil, opini tuduhan ijazah palsu mendominasi ruang publik. Pihak-pihak yang tetap percaya pada legalitas ijazah Jokowi mungkin memilih diam karena tidak ingin terlibat dalam pusaran debat kusir.

Cara dr. Tifa menyampaikan klaimnya mengandung model komunikasi asymmetrical two-way communication. Model komunikasi ini tidak seimbang.  Satu pihak tetap yang tetap menjadi pihak yang dominan dan berusaha membuat pihal lain  menyesuaikan diri dengan kepentingannya. Ini adalah bentuk komunikasi yang manipulatif dan bisa menciptakan frame seolah-olah yang dituduh harus membuktikan dirinya tidak bersalah. Berbalik dari prinsip presumption of innocence.

Namun, bertahan lamanya tuduhan ijazah Jokowi palsunya, juga disuburkan oleh polarisasi. Satu kelompok berusaha menjatuhkan kelompok yang lain.  Juga keberpihakan media, termasuk media sosial.

Selain itu, tuduhan itu semakin menjadi karena sudah terinternalisasi pada anggota dalam kelompok.  Berger dan Luckmann menyatakan,  realitas sosial dibentuk oleh persepsi kolektif, bukan semata fakta objektif. Jadi jika komunitas tertentu mempercayai narasi bahwa Jokowi memalsukan ijazah, maka itu menjadi "realitas" di kelompok itu, meskipun bertentangan dengan fakta resmi.

Jika persepsi kolektif itu juga menyangkut ketidakpercayaan terhadap institusi resmi, tidak ada lagi yang dapat dipercaya. Bukankah ini bertentangan cita-cita kita bernegara. Semoga elite politik memahami hal tesebut dan kasus ijazah Jokowi palsu  ini bisa diselesaikan dengan baik. Salam.

Baca juga:

Sabtu, 12 Juli 2025

Polarisasi Tidak Pernah Usai

Demontrasi mahasiswa di Padang 2022

PEMILU SUDAH berlalu lama. Polarisasi tidak pernah usai.  Namun, itu memang gejala di banyak negara, termasuk Indonesia. Wow.  Tapi benarkah itu terjadi secara alami? 

Jawabannya: tidak. Polarisasi tidak pernah usai, karena memang dipelihara oleh para tokoh politik atau kalangan elite. Bukan untuk menyelesaikan masalah, melainkan  justru untuk mempertahankan pengaruh dan kekuasaan.


Polarisasi yang dipelihara demi kekuasaan

Tokoh-tokoh publik tahu bahwa keterbelahan masyarakat bisa menciptakan loyalitas yang kuat. Mestinya meraka juga tahu, itu juga rentan untuk menciptakan kegaduhan. Dengan loyalitas yang tinggi, muncullah narasi “kami” versus “mereka”, seolah hanya ada dua pilihan dan yang berbeda adalah musuh.

Bahkan ketika isu utama telah reda, narasi konflik tetap dihidupkan. Polarisasi bukan lagi soal ideologi, melainkan soal menjaga basis pendukung agar tetap solid dan tidak berpaling.

Menurut Brookings Institution, yang ditulis Darrel M. West dan Fred Dews, polarisasi di Amerika Serikat menjadi lebih tajam karena elite politik secara sadar menggunakan konflik identitas untuk mengonsolidasikan kekuatan. Hal serupa bisa kita lihat juga dalam konteks lokal: saat menjelang pemilu, isu-isu lama kerap dimunculkan kembali agar sentimen tetap menyala.


Identitas sosial dan post truth

qoute
Fenomena ini dapat dipahami melalui TeoriIdentitas Sosial yang dikembangkan oleh Henri Tajfel dan John Turner (1970). Teori ini menjelaskan bahwa manusia cenderung mengelompokkan diri ke dalam kelompok sosial tertentu (in-group), lalu membedakan diri dari kelompok lain (out-group).

Ketika elite mengeksploitasi kecenderungan ini, identitas bukan lagi sumber kedamaian, melainkan alat perpecahan. Konflik pun menjadi bagian dari strategi politik. Selama ada keuntungan dari keterbelahan, rekonsiliasi tidak akan pernah benar-benar diupayakan.

Unggahan konten di media sosial yang saling menyudutkan lawan, sesungguhnya merupakan upaya untuk mempererat barisan bukan untuk menyerang lawan.  Pasalnya, meskipun ditunjukkan data tentang kebohongan idolanya, kelompok pendukung ini tidak akan percaya. Fakta dianggap tidak sepenting emosi. Seperti prinsip post truth: kebenaran tidak lagi dinegosiasikan secara rasional, melainkan ditentukan oleh siapa yang bicara.


Algoritma media sosial

Jadi bila  ada media sosial mengunggah tentang keberhasilan Prabowo, misalnya, pastilah yang datang adalah orang-orang yang telah mengidentifikasi dengan Prabowo. Jika yang diunggah adalah keberhasilan Anis, yang datang pasti adalah orang yang mendukung Anis. Jadi, unggahan-uanggahan itu pada dua kubu atau tiga kubu sejatinya hanya untuk memperkuat dukungan.

Sebenarnya, semua orang sudah mengidentifikasikan dirinya. Henri Tajfel dan John Turner bilang, soal dukungan di media sosial tidak usah dibentuk secara formal. Pastilah orang-orang yang melihat konten tertentu di media sosial, apalagi sampai memberikan comment, pastinya memliki identitas sosial yang sama.  

Sudah begitu, algoritma media sosial juga ikut mendukung. Dengan echo chamber, orang hanya akan direkomendasikan dengan  konten sejenis yang sering diakses. Filter bubble juga membuat orang hanya melihat apa yang memang dia suka. Jadi, wajar saja, jika polarisasi tidak pernah usai.

Apakah polarisasi bisa berakhir? Bisa, bila para tokoh dan para elite ingin mengakhiri. Salam.

Baca juga: