Baru-baru ini, publik kembali dihebohkan oleh pernyataan kontroversial dari dr. Tifauzia_Tyassuma alias dr Tifa. Dokter yang satu ini enggan menjawab pertanyaan yang diajukan oleh polisi sebelum melihat ijazah asli Jokowi.
"Karena pertanyaan-pertanyaan itu semua berkaitan dengan ijazah yang menjadi polemik selama 10 tahun ini. Ya tentu saja yang saya tanyakan dulu, yang saya klarifikasi dulu apakah ijazahnya ada? Soal ijazahnya tidak ada, ya kita percuma kan bertanya jawab gitu ya," ujarnya kepada Detik.com pada akhir pekan pertama Juli 2025.
Logical fallacy dan bias konfirmasi
Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan logis: bagaimana seseorang bisa menyatakan ijazah Jokowi palsu tanpa pernah melihat yang aslinya? Hal ini mengarah pada praktik komunikasi yang cenderung spekulatif dan sarat asumsi. yang dapat disebut sebagai logical fallacy. Pernyataan tuduhan ijazah Jokowi palsu mengandung argumentum ad ignorantiam. Yakni: penarikan kesimpulan dari sesuatu belum terbukti kebenaran.Seperti kita ketahui, penarikan kesimpulan ijazah Jokowi itu palsu hanya berdasarkan data digital ijazah jokowi. Padahal, ijazah Jokowi itu adalah kertas hasil cetakan dan tulisan tangan. . Dari sini saja sudah ada sesuatu yang perlu diperdebatan .
Lalu soal skripsi Jokowi yang dituduh mengggunakan font terbaru, juga sudah dibantah dan tuduhan tidak terbukti. Lalu, bukti lain seperti lokasi KKN Jokowi yang ternyata terbukti benar dari masyarakat sekitar. Apa yang terjadi? Semua diabaikan.
Lalu, ketika ada pengakuan Pak Kasmujo bahwa dia bukan pembimbing skripsi Jokowi dan hanya pembimbing akademik, langsung itu dianggap bahwa Jokowi tidak pernah membuat skripsi. Ketika UGM mengkonfirmasi bahwa ijazah Jokowiitu asli, kelompok pendukung ijazah Jokowi palsu membantah. Mereka menganggap ada konspirasi. Begitu juga ketika Polri mengkonfirmasi keaslian ijazah Jokowi.
Dari sini kita dapat menarik pelajaran bahwa telah terjadi confirmation bias (bias konfirmasi). Yaitu fenomena seseorang cenderung mencari, mengingat, dan mempercayai informasi yang mendukung keyakinannya, dan mengabaikan bukti yang bertentangan.
Jadi, jika seseorang sejak awal sudah meyakini bahwa Jokowi "bermasalah", bukti resmi apa pun cenderung dianggap sebagai rekayasa atau konspirasi. Saya kok merasa persoalan ini tidak akan selesai. Bayangkan semua hal yang mengkonfirmasikan kebenaran dibantah.
Persepsi kolektif
Saya teringat Elisabeth Noelle-Neumann dengan spiral keheningannya. Mengapa tuduhan ijazah palsu bisa begitu bertahan lama? Karena media turut mendukungnya. Alhasil, opini tuduhan ijazah palsu mendominasi ruang publik. Pihak-pihak yang tetap percaya pada legalitas ijazah Jokowi mungkin memilih diam karena tidak ingin terlibat dalam pusaran debat kusir.
Cara dr. Tifa menyampaikan klaimnya mengandung model komunikasi asymmetrical two-way communication. Model komunikasi ini tidak seimbang. Satu pihak tetap yang tetap menjadi pihak yang dominan dan berusaha membuat pihal lain menyesuaikan diri dengan kepentingannya. Ini adalah bentuk komunikasi yang manipulatif dan bisa menciptakan frame seolah-olah yang dituduh harus membuktikan dirinya tidak bersalah. Berbalik dari prinsip presumption of innocence.
Namun, bertahan lamanya tuduhan ijazah Jokowi palsunya, juga disuburkan oleh polarisasi. Satu kelompok berusaha menjatuhkan kelompok yang lain. Juga keberpihakan media, termasuk media sosial.
Selain itu, tuduhan itu semakin menjadi karena sudah terinternalisasi pada anggota dalam kelompok. Berger dan Luckmann menyatakan, realitas sosial dibentuk oleh persepsi kolektif, bukan semata fakta objektif. Jadi jika komunitas tertentu mempercayai narasi bahwa Jokowi memalsukan ijazah, maka itu menjadi "realitas" di kelompok itu, meskipun bertentangan dengan fakta resmi.
Jika persepsi kolektif itu juga menyangkut ketidakpercayaan terhadap institusi resmi, tidak ada lagi yang dapat dipercaya. Bukankah ini bertentangan cita-cita kita bernegara. Semoga elite politik memahami hal tesebut dan kasus ijazah Jokowi palsu ini bisa diselesaikan dengan baik. Salam.