Minggu, 13 Juli 2025

Tuduhan Ijazah Jokowi Palsu dan Bias Konfirmasi


Prabowo Subianto welcomed the arrival of President Jokowi during a visit to his residence (2016)

TUDUHAN IJAZAH Jokowi palsu memang bikin pusing. Namun, sejatinya ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian kita semua dari kasus tersebut. 

Baru-baru ini, publik kembali dihebohkan oleh pernyataan kontroversial dari dr. Tifauzia_Tyassuma alias dr Tifa. Dokter yang satu ini enggan menjawab pertanyaan yang diajukan oleh polisi sebelum melihat ijazah asli Jokowi. 

"Karena pertanyaan-pertanyaan itu semua berkaitan dengan ijazah yang menjadi polemik selama 10 tahun ini. Ya tentu saja yang saya tanyakan dulu, yang saya klarifikasi dulu apakah ijazahnya ada? Soal ijazahnya tidak ada, ya kita percuma kan bertanya jawab gitu ya," ujarnya kepada Detik.com pada akhir pekan  pertama Juli 2025.


Logical fallacy dan bias konfirmasi

qoute
Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan logis: bagaimana seseorang bisa menyatakan ijazah Jokowi palsu tanpa pernah melihat yang aslinya? Hal ini mengarah pada praktik komunikasi yang cenderung spekulatif dan sarat asumsi. yang dapat disebut sebagai logical fallacy. Pernyataan tuduhan ijazah Jokowi palsu mengandung argumentum ad ignorantiam. Yakni: penarikan kesimpulan dari sesuatu belum terbukti kebenaran.

Seperti kita ketahui, penarikan kesimpulan ijazah Jokowi itu palsu hanya berdasarkan data digital ijazah jokowi. Padahal, ijazah Jokowi itu adalah kertas hasil cetakan dan tulisan tangan. . Dari sini saja sudah ada sesuatu yang perlu diperdebatan . 

Lalu soal skripsi Jokowi yang dituduh mengggunakan font terbaru, juga sudah dibantah dan tuduhan tidak terbukti. Lalu, bukti lain seperti lokasi KKN Jokowi yang ternyata terbukti benar dari masyarakat sekitar. Apa yang terjadi? Semua diabaikan.  

Lalu, ketika ada pengakuan Pak Kasmujo bahwa dia bukan pembimbing skripsi Jokowi dan hanya pembimbing akademik, langsung itu dianggap bahwa Jokowi tidak pernah membuat skripsi. Ketika UGM mengkonfirmasi bahwa ijazah Jokowiitu asli, kelompok pendukung ijazah Jokowi palsu  membantah. Mereka menganggap ada konspirasi. Begitu juga ketika Polri mengkonfirmasi keaslian ijazah Jokowi.

Dari sini kita dapat menarik pelajaran bahwa telah terjadi confirmation bias (bias konfirmasi). Yaitu fenomena seseorang cenderung mencari, mengingat, dan mempercayai informasi yang mendukung keyakinannya, dan mengabaikan bukti yang bertentangan. 

Jadi, jika seseorang sejak awal sudah meyakini bahwa Jokowi "bermasalah", bukti resmi apa pun cenderung dianggap sebagai rekayasa atau konspirasi. Saya kok  merasa persoalan ini tidak akan selesai. Bayangkan semua hal yang mengkonfirmasikan kebenaran dibantah.


Persepsi kolektif

Saya teringat Elisabeth Noelle-Neumann dengan spiral keheningannya.  Mengapa tuduhan ijazah palsu bisa begitu bertahan  lama? Karena media turut mendukungnya. Alhasil, opini tuduhan ijazah palsu mendominasi ruang publik. Pihak-pihak yang tetap percaya pada legalitas ijazah Jokowi mungkin memilih diam karena tidak ingin terlibat dalam pusaran debat kusir.

Cara dr. Tifa menyampaikan klaimnya mengandung model komunikasi asymmetrical two-way communication. Model komunikasi ini tidak seimbang.  Satu pihak tetap yang tetap menjadi pihak yang dominan dan berusaha membuat pihal lain  menyesuaikan diri dengan kepentingannya. Ini adalah bentuk komunikasi yang manipulatif dan bisa menciptakan frame seolah-olah yang dituduh harus membuktikan dirinya tidak bersalah. Berbalik dari prinsip presumption of innocence.

Namun, bertahan lamanya tuduhan ijazah Jokowi palsunya, juga disuburkan oleh polarisasi. Satu kelompok berusaha menjatuhkan kelompok yang lain.  Juga keberpihakan media, termasuk media sosial.

Selain itu, tuduhan itu semakin menjadi karena sudah terinternalisasi pada anggota dalam kelompok.  Berger dan Luckmann menyatakan,  realitas sosial dibentuk oleh persepsi kolektif, bukan semata fakta objektif. Jadi jika komunitas tertentu mempercayai narasi bahwa Jokowi memalsukan ijazah, maka itu menjadi "realitas" di kelompok itu, meskipun bertentangan dengan fakta resmi.

Jika persepsi kolektif itu juga menyangkut ketidakpercayaan terhadap institusi resmi, tidak ada lagi yang dapat dipercaya. Bukankah ini bertentangan cita-cita kita bernegara. Semoga elite politik memahami hal tesebut dan kasus ijazah Jokowi palsu  ini bisa diselesaikan dengan baik. Salam.

Baca juga:

Sabtu, 12 Juli 2025

Polarisasi Tidak Pernah Usai

Demontrasi mahasiswa di Padang 2022

PEMILU SUDAH berlalu lama. Polarisasi tidak pernah usai.  Namun, itu memang gejala di banyak negara, termasuk Indonesia. Wow.  Tapi benarkah itu terjadi secara alami? 

Jawabannya: tidak. Polarisasi tidak pernah usai, karena memang dipelihara oleh para tokoh politik atau kalangan elite. Bukan untuk menyelesaikan masalah, melainkan  justru untuk mempertahankan pengaruh dan kekuasaan.


Polarisasi yang dipelihara demi kekuasaan

Tokoh-tokoh publik tahu bahwa keterbelahan masyarakat bisa menciptakan loyalitas yang kuat. Mestinya meraka juga tahu, itu juga rentan untuk menciptakan kegaduhan. Dengan loyalitas yang tinggi, muncullah narasi “kami” versus “mereka”, seolah hanya ada dua pilihan dan yang berbeda adalah musuh.

Bahkan ketika isu utama telah reda, narasi konflik tetap dihidupkan. Polarisasi bukan lagi soal ideologi, melainkan soal menjaga basis pendukung agar tetap solid dan tidak berpaling.

Menurut Brookings Institution, yang ditulis Darrel M. West dan Fred Dews, polarisasi di Amerika Serikat menjadi lebih tajam karena elite politik secara sadar menggunakan konflik identitas untuk mengonsolidasikan kekuatan. Hal serupa bisa kita lihat juga dalam konteks lokal: saat menjelang pemilu, isu-isu lama kerap dimunculkan kembali agar sentimen tetap menyala.


Identitas sosial dan post truth

qoute
Fenomena ini dapat dipahami melalui TeoriIdentitas Sosial yang dikembangkan oleh Henri Tajfel dan John Turner (1970). Teori ini menjelaskan bahwa manusia cenderung mengelompokkan diri ke dalam kelompok sosial tertentu (in-group), lalu membedakan diri dari kelompok lain (out-group).

Ketika elite mengeksploitasi kecenderungan ini, identitas bukan lagi sumber kedamaian, melainkan alat perpecahan. Konflik pun menjadi bagian dari strategi politik. Selama ada keuntungan dari keterbelahan, rekonsiliasi tidak akan pernah benar-benar diupayakan.

Unggahan konten di media sosial yang saling menyudutkan lawan, sesungguhnya merupakan upaya untuk mempererat barisan bukan untuk menyerang lawan.  Pasalnya, meskipun ditunjukkan data tentang kebohongan idolanya, kelompok pendukung ini tidak akan percaya. Fakta dianggap tidak sepenting emosi. Seperti prinsip post truth: kebenaran tidak lagi dinegosiasikan secara rasional, melainkan ditentukan oleh siapa yang bicara.


Algoritma media sosial

Jadi bila  ada media sosial mengunggah tentang keberhasilan Prabowo, misalnya, pastilah yang datang adalah orang-orang yang telah mengidentifikasi dengan Prabowo. Jika yang diunggah adalah keberhasilan Anis, yang datang pasti adalah orang yang mendukung Anis. Jadi, unggahan-uanggahan itu pada dua kubu atau tiga kubu sejatinya hanya untuk memperkuat dukungan.

Sebenarnya, semua orang sudah mengidentifikasikan dirinya. Henri Tajfel dan John Turner bilang, soal dukungan di media sosial tidak usah dibentuk secara formal. Pastilah orang-orang yang melihat konten tertentu di media sosial, apalagi sampai memberikan comment, pastinya memliki identitas sosial yang sama.  

Sudah begitu, algoritma media sosial juga ikut mendukung. Dengan echo chamber, orang hanya akan direkomendasikan dengan  konten sejenis yang sering diakses. Filter bubble juga membuat orang hanya melihat apa yang memang dia suka. Jadi, wajar saja, jika polarisasi tidak pernah usai.

Apakah polarisasi bisa berakhir? Bisa, bila para tokoh dan para elite ingin mengakhiri. Salam.

Baca juga:


Jumat, 11 Juli 2025

Kenapa Tulisan Harus Ada Judulnya? Ini 3 Alasannya

tulisan harus ada judul


ADA PERTANYAAN yang nyeleneh, tapi terpaksa saya pikirkan. Meskipun sepele, pertanyaan kenapa tulisan harus ada judulnya bikin senyum, tapi memang iya kenapa tulisan ada judulnya ya. Memangnya kalau tidak ada judulnya bukan tulisan. Lantas, bagaimana judul tulisan yang baik itu.

Pertanyaan ini dilontarkan oleh seorang peserta kelas menulis saya. Dia suka bercanda, makanya saya tertawa. Dia juga ikut tertawa. Pertanyaan tulisan harus ada judulnya, jadi mirip pertanyaan kenapa anjing harus menggonggong, memangnya kalau tidak menggonggong bukan anjing.

Tiap tulisan yang dimuat di media massa, pasti ada judulnya. Tapi, apa yang tidak berjudul bukan tulisan? Ya, tetap tulisan.

Hakikat judul

Sekarang mari kita jawab dulu pertanyaan yang paling mendasar: apa itu judul? Judul bisa disamakan dengan kepala. Di kepala ada identitas, ide atau buah pikiran, dan wawasan. Yuk, kita lihat satu per satu.

Pertama, tulisan harus ada judulnya karena judul itu identitas

Dari judul kita sudah bisa mengetahui tulisan itu opini, fiksi, atau karya ilmiah. Kalau tulisan itu berjudul Bunga Terakhir untuk Santi, kita pasti bisa menduga itu merupakan fiksi atau tulisan yang bergaya fiksi walau isinya ilmiah. Kalau berjudul Kebencian Berpengaruh Terhadap Kesehatan, kita dapat memastikan itu merupakan tulisan ilmiah tulisan.

Kedua, tulisan harus ada judulnya karena di judul tulisan ada ide atau buah pikiran

Judul sudah mencerminkan apa yang ada dalam tulisan. Dengan kata lain, ide atau buah pikiran penulisan ada dalam judul. Judul Teknik Mengolah Sampah Menjadi duit, pembaca sudah bisa membaca tulisan yang akan dibacakan akan membahas bagaimana mengolah sampah hingga bisa menghasilkan duit. Menulis Semudah Berbicara, judul seperti ini tentu akan pembaca berharap akan mendapatkan teknik atau cara agar bisa menulis semudah berbicara.

Ketiga, tulisan harus ada judulnya karena di judul ada wawasan

Dari judul pembaca juga bisa menduga kedalaman isi tulisan atau wawasan si penulis. Kompetensi penulis terlihat di judul tersebut. Kalau ada judul, Membeli Properti Tanpa Duit, tentu kita bisa membayangkan bahwa si penulis adalah orang yang memang sudah berpengalaman dalam bidang properti. Tulisannya juga pasti berisi trik atau pengalaman si penulis yang berhubungan dengan properti.

Itulah mengapa sebuah tulisan harus ada judulnya. Jadi seperti analogi di atas. Judul itu adalah kepala. Tubuh tanpa kepala masih bisa dibilang tubuh, tapi kita tidak tahu tubuh siapa itu.

Judul perlu tapi tidak asal

qoute
Saya sudah menjelaskan bahwa judul diperlukan oleh sebuah tulisan. Namun, juga tidak bisa sembarang menuliskan kata-kata di atas tulisan. Ada sebuah artikel yang menarik di natureindex.com yang berbicara bagaimana membuat judul. Itu agar kita tidak asal-asalan membuat judul.

1.     Judul jangan menggunakan kata-kata yang teknis
Judul sebaiknya menggunakan kata-kata yang mudah dimengerti. Penggunaan istilah teknis akan menyulitkan orang memahami maksud tulisannya itu. “Judul yang bagus tidak menggunakan jargon yang tidak perlu,” kata Elisa De Ranieri, pemimpin redaksi di jurnal Nature Communications.

2.     Judul yang bagus mudah dicari
Sebagian besar pembaca saat ini mengakses jurnal elektronik, yang diindeks dalam database ilmiah seperti Scopus dan Google Scholar. Agaknya ini untuk tulisan ilmiah. Namun, saya kira, semua tulisan saat ini hanya ramah google. Dengan demikian akan mudah ditemukan oleh si “mbah google”.

3.     Judul yang baik didukung oleh data
Penulis harus berhati-hati untuk tidak membuat klaim apa pun dalam judul yang tidak dapat didukung oleh bukti. Misalnya, bila judul kita Pemalsu Dokumen UU Ciptaker, tentu dalam tulisan harus ada data pendukung bahwa UU ciptaker memang telah dipalsukan, juga ada data mengapa orang itu bisa sampai dituduh pemalsu. Jika dalam tulisan itu tidak ada datanya, tulisan ini tidak layak untuk disiarkan. Atau, ganti judulnya.

4.     Judul yang bagus memicu rasa ingin tahu
“Judul harus menarik minat orang yang mencari literatur dalam sekejap – cukup mereka mengklik judul untuk membaca abstraknya. Ilmu yang belum dibaca adalah ilmu yang hilang, ”kata Christine Mayer, pemimpin redaksi jurnal Advanced Therapeutics.

Jelas, dalam tulisannya lebih populer juga judul model seperti itu berlaku. Rasa ingin tahu atau penasaran akan memaksa orang untuk mengeklik judul atau membuka buku lalu membaca tulisan.

Nah, terbukti, tulisan itu memerlukan judul. Bukan cuma agar tulisannya kelihatan menarik karena mempunyai kepala tulisan, melainkan banyak hal yang terkandung dalam judul. Salam.

Baca juga: 

Pacu Semangat Menulis lewat Ajang Lomba FLS3N



TENTU SAJA kita senang, bila siswa mampu mengekspresikan dirinya. Salah satu caranya adalah dengan menulis. Untung ada FLS3N yang mewadahi ekspresi siswa dalam menulis dengan lomba menulis feature (jurnalistik) dan lomba menulis cerpen.

Sama-sama kita ketahui, dunia pendidikan bukan hanya soal angka dan ujian, melainkan tentang bagaimana siswa bisa mengekspresikan gagasan dan kreativitasnya. Salah satu ruang ekspresi yang sangat penting adalah ajang lomba menulis. Yang menjadi fokus saya adalah menulis feature jurnalistik.

Dalam pelaksanaan Festival dan Lomba Seni dan Sastra Siswa Nasional  (FL3SN), para siswa diajak untuk tidak hanya menjadi pembaca pasif, tetapi juga penulis aktif yang mampu menggambarkan kehidupan sekitarnya melalui kata-kata. Bukan hanya itu, melainkan juga berupaya menggali kehidupan orang-orang sekitar dan para tokoh yang menginspirasi.

Banyak guru dan pembina literasi di sekolah mengaku antusias mendampingi siswa dalam lomba ini. Karena dari proses menulis itulah, potensi siswa sering kali muncul—baik dalam hal gaya bahasa, kedalaman analisis, maupun kemampuan membangun alur cerita.

Menariknya, dalam sebuah catatan tentang pelaksanaan lomba penulisan feature FLS3N di Bogor, dijelaskan secara rinci bagaimana lomba ini dijalankan, tantangan peserta, serta semangat para pembina yang tak kalah hebatnya.

Sayangnya kemampuan teknis para guru atau pembimbing ini kurang memadai. Ada beberapa catatan mengenai hal tersebut di sini.

Ajang seperti ini sangat penting untuk terus dilanjutkan, karena menjadi bagian dari upaya menghidupkan budaya literasi di sekolah secara konkret dan berkelanjutan. Selain itu, lomba penulisan feature juranlistik di FLS3N juga mengajarkan kepada siswa untuk tidak sembarangan menulis tanpa memperoleh fakta yang benar.

Baca juga:

Kamis, 10 Juli 2025

Ingat, Orang Tua Lebih Baik Dipisah

IqbalStock-Pixabay

ACAP KITA temukan ada dua penulisan orang tua yang berbeda. Ada yang menulis orang tua, ada yang orangtua. Mana yang benar?

Ya, ada alasan yang sempat terlontar mengapa orang tua harus disambung cara penulisannya. Kata mereka, orangtua adalah orang yang melahirkan kita, bukan orang yang sudah tua. Toh, dalam bahasa Inggris juga ditulis dengan satu kata parent. Ingat ya, orang tua itu dalam bahasa Indonesia.

Benar, tapi kurang tepat. Pertama, orang tua menjadi orang yang sudah tua dan orang tua yang mengacu ke orang yang melahirkan kita amat bergantung pada konteks kalimat atau pembicaraan. Dalam kalimat:

  • Orang tua tergeletak di pos ronda dan kedinginan
  • Orang tuaku bukanlah orang yang kaya harta melainkan kaya hati
  • Ikutilah para ulama, mereka orang tua kita

Dari kalimat ini saja kita sudah tahu mana yang bermakna orang yang sudah tua dan mana orang tua yang melahirkan kita. Tidak akan tertukar tanpa perlu membedakan cara penulisannya orang tua dan orangtua.

Kalimat pertama sudah jelas bermakna orang yang sudah tua. Kalimat kedua jelas bermakna orang yang melahirkan kita. Yang ketiga bermakna orang yang kita hormati seperti orang tua yang melahirkan dan mengasuh kita.

Tidak usah lebai, kalau tidak dibedakan cara penulisannya orang akan salah memaknai.

Tidak ada alasan

qoute
Kedua, orang tua adalah kata majemuk. Orang tua yang bermakna adanya hubungan kekerabatan atau darah dan moral tidak boleh bisa disisipi dengan kata lain di antara keduanya.

Misalnya saya menulis, kita harus menghormati orang tua, ini bermakna orang yang memiliki kekerabatan atau orang yang melahirkan kita. Akan berubah maknanya bila ditulis kita harus menghormati orang yang sudah tua, frasa orang tua menjadi kata umum.

Ketiga, alasan mengapa orang tua harus dipisah adalah orang tua adalah sejajar pembentukannya dengan kata lain yang memakai kata orang. Misalnya, orang tua, orang muda, orang botak, orang lucu, orang cantik.

Kita juga tidak membedakan penulisan orang tua yang bermakna orang yang melahirkan atau memiliki kekerabatan dan orang yang sudah tua. Kita jangan mengada-ngadalah.

Jadi, ingat tidak ada alasan untuk menulis orang tua menjadi orangtua. Namun, kalau mau terlihat beda (tapi salah), silakan. Salam.

Baca juga:

Rabu, 09 Juli 2025

Kenapa Harus Miring, Enggak Enak Tahu

Image by <a href="https://pixabay.com/users/pexels-2286921/?utm_source=link-attribution&utm_medium=referral&utm_campaign=image&utm_content=1853507">Pexels</a> from <a href="https://pixabay.com//?utm_source=link-attribution&utm_medium=referral&utm_campaign=image&utm_content=1853507">Pixabay</a>

APA ENAKNYA miring? Relatif sih jawaban, yang suka pasti akan bilang memang harus miring, yang tidak suka bakal bilang ngerepotin. Tapi, yang pasti suatu posisi yang tidak normal akan menarik perhatian. Itulah yang terjadi dengan huruf miring.

Teman muda saya datang lagi, kali ini mengelauh, kenapa ya ada huruf miring, memang fungsinya apa? Langsung saya jawab, huruf miring itu untuk menulis judul buku, nama media massa, kata asing, atau frasa atau istilah yang ingin ditekankan. Dengan cuweknya teman saya itu berujar, “Sudah tahu.” Saya hanya menahan napas, tapi saya  tahu yang dia maksud: kenapa huruf-huruf itu harus miring. 

Tapi, ups, saya ingat, dia pasti ingin menanyakan alasan logis kenapa judul buku, nama media massa, kata asing, dan menekankan istilah atau frasa harus ditulis dengan huruf miring. Masih ingat, dong, dia juga pernah menanyakan hal yang sama mengenai huruf besar atau kapital.

Okelah, saya akan menjawab pertanyaan itu. Kalau soal bagaimana menggunakan huruf miring, ada PUEBI. Kalau alasan kenapa ada huruf miring, dibolak-balik itu PUEBI tidak bakal ada. Untuk memenuhi rasa penasaran teman saya itu, saya akan menjelaskan.


Meminta perhatian

Sebenarnya hampir tidak jauh berbeda sama penggunaan huruf besar. Huruf miring dibuat untuk menyadarkan pembaca bahwa yang dihadapi bukanlah kata atau frasa yang biasa. Ini saya rasa alasan paling logis. Ketika kita membaca tiba-tiba ada kata yang dimiringkan, itu artinya kata itu menuntut perhatian. Misalnya:

Perjalanan ke rumah itu sangat jauh sehingga membuat keringat dweleran.
Saya membaca buku Siti Nurbaya ketika masih kelas enam SD.

Ketika bertemu kata dweleran, apalagi huruf dimiringkan, orang lansung ngeh bahwa kata itu minta perhatian karena bukan kosa kata bahasa Indonesia melainkan kosa kata bahasa Jawa. Lalu, pada kalimat kedua, Siti Nurbaya jelas itu judul buku, konteks kalimatnya sudah menunjukkan itu. Namun, bagaimana bila tidak menggunakan kata buku.

Kalau saya menulis "Saya menemukan Siti Nurbaya di Senen di antara tumpukan sampah", lalu saya menulis lagi "Saya menemukan Siti Nurbaya di Senen di antara tumpukan sampah". Pada contoh pertama, orang langsung yakin bahwa itu adalah nama orang. Namun, pada contoh berikut, dengan memiringkan atau menggarisbawahi Siti Nurbaya, orang langsung tahu bahwa itu hanyalah sebuah buku. 

Dari sini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa huruf miring juga bisa memberi makna pada kata atau frasa. Catatan: huruf miring bisa diganti dengan garis bawah bila memang tidak memungkinkan untuk membuat huruf miring.

Jadi, mengapa huruf harus miring, pertama, karena kata atau frasa yang dimiringkan itu meminta perhatian khusus; kedua, huruf miring juga bisa memberi makna pada kata atau frasa. Ada alasan lain? Ya, pasti ada. Silakan.

Baca juga:

Selasa, 08 Juli 2025

Bro, Ternyata Media Online Bukan Tanpa Batas

Image by <a href="https://pixabay.com/users/mike_ramirez_mx-8422469/?utm_source=link-attribution&utm_medium=referral&utm_campaign=image&utm_content=6380562">Mike Ramírez Mx</a> from <a href="https://pixabay.com//?utm_source=link-attribution&utm_medium=referral&utm_campaign=image&utm_content=6380562">Pixabay</a>

DI AWAL kemunculannya, media online pernah dianggap sebagai ruang tanpa batas bagi para jurnalis. Banyak yang mengira bahwa di dunia digital, tulisan bisa dibuat sepanjang-panjangnya, tidak seperti di media cetak yang dibatasi oleh ukuran halaman dan ruang kolom. Pemikiran ini cukup masuk akal, karena media digital memang tidak mengenal batas fisik seperti kertas. Namun, kenyataan di lapangan justru berkata sebaliknya.

Alih-alih bisa menulis sepanjang mungkin, jurnalis media online justru dituntut untuk menulis dengan lebih ringkas. Bahasa jurnalistik yang padat, singkat, dan jelas tetap menjadi kebutuhan utama, bahkan semakin mendesak.

Jika di media cetak tulisan sepanjang 800 hingga 1.200 kata masih dianggap wajar, maka di media online, tulisan sepanjang 300 kata saja sudah tergolong panjang. Sebagian besar pembaca media digital lebih menyukai informasi yang cepat dicerna, mudah dipahami, dan tidak memakan waktu lama untuk dibaca. Ini selaras dengan pola konsumsi informasi di era digital yang serba cepat.

Kenapa harus ringkas?

Ada beberapa alasan utama. Pertama, karakter pembaca media online memang berbeda. Mereka lebih suka membaca sekilas, memindai cepat, dan hanya mencari inti informasi. Kedua, media online kini berlomba-lomba menyajikan berita tercepat. Kecepatan menjadi nilai jual utama. Pembaca ingin segera


tahu apa yang sedang terjadi, dan media pun berusaha memenuhi itu dalam waktu yang sangat singkat. Bahkan, dalam banyak kasus, media online bisa mengalahkan televisi dalam kecepatan pemberitaan.

Namun, dampak negatifnya juga terasa. Karena mengejar kecepatan, kualitas bahasa sering dikorbankan. Salah ketik, kalimat tidak efektif, hingga struktur paragraf yang kacau jadi hal yang sering ditemui. Tingkat kerapihan bahasa pun menurun drastis.

Dari  uraian yang juga pernah disampaikan dalam linkedin itu, sudah saatnya kita melakukan perubahan. Kecepatan memang penting, tapi ketepatan dan kerapihan dalam menyampaikan informasi tidak boleh dikesampingkan. Media online harus tetap menjunjung tinggi kualitas bahasa jurnalistik. Salam.

Baca juga: