Tampilkan postingan dengan label bahasa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label bahasa. Tampilkan semua postingan

Jumat, 11 Juli 2025

Kenapa Tulisan Harus Ada Judulnya? Ini 3 Alasannya

tulisan harus ada judul


ADA PERTANYAAN yang nyeleneh, tapi terpaksa saya pikirkan. Meskipun sepele, pertanyaan kenapa tulisan harus ada judulnya bikin senyum, tapi memang iya kenapa tulisan ada judulnya ya. Memangnya kalau tidak ada judulnya bukan tulisan. Lantas, bagaimana judul tulisan yang baik itu.

Pertanyaan ini dilontarkan oleh seorang peserta kelas menulis saya. Dia suka bercanda, makanya saya tertawa. Dia juga ikut tertawa. Pertanyaan tulisan harus ada judulnya, jadi mirip pertanyaan kenapa anjing harus menggonggong, memangnya kalau tidak menggonggong bukan anjing.

Tiap tulisan yang dimuat di media massa, pasti ada judulnya. Tapi, apa yang tidak berjudul bukan tulisan? Ya, tetap tulisan.

Hakikat judul

Sekarang mari kita jawab dulu pertanyaan yang paling mendasar: apa itu judul? Judul bisa disamakan dengan kepala. Di kepala ada identitas, ide atau buah pikiran, dan wawasan. Yuk, kita lihat satu per satu.

Pertama, tulisan harus ada judulnya karena judul itu identitas

Dari judul kita sudah bisa mengetahui tulisan itu opini, fiksi, atau karya ilmiah. Kalau tulisan itu berjudul Bunga Terakhir untuk Santi, kita pasti bisa menduga itu merupakan fiksi atau tulisan yang bergaya fiksi walau isinya ilmiah. Kalau berjudul Kebencian Berpengaruh Terhadap Kesehatan, kita dapat memastikan itu merupakan tulisan ilmiah tulisan.

Kedua, tulisan harus ada judulnya karena di judul tulisan ada ide atau buah pikiran

Judul sudah mencerminkan apa yang ada dalam tulisan. Dengan kata lain, ide atau buah pikiran penulisan ada dalam judul. Judul Teknik Mengolah Sampah Menjadi duit, pembaca sudah bisa membaca tulisan yang akan dibacakan akan membahas bagaimana mengolah sampah hingga bisa menghasilkan duit. Menulis Semudah Berbicara, judul seperti ini tentu akan pembaca berharap akan mendapatkan teknik atau cara agar bisa menulis semudah berbicara.

Ketiga, tulisan harus ada judulnya karena di judul ada wawasan

Dari judul pembaca juga bisa menduga kedalaman isi tulisan atau wawasan si penulis. Kompetensi penulis terlihat di judul tersebut. Kalau ada judul, Membeli Properti Tanpa Duit, tentu kita bisa membayangkan bahwa si penulis adalah orang yang memang sudah berpengalaman dalam bidang properti. Tulisannya juga pasti berisi trik atau pengalaman si penulis yang berhubungan dengan properti.

Itulah mengapa sebuah tulisan harus ada judulnya. Jadi seperti analogi di atas. Judul itu adalah kepala. Tubuh tanpa kepala masih bisa dibilang tubuh, tapi kita tidak tahu tubuh siapa itu.

Judul perlu tapi tidak asal

qoute
Saya sudah menjelaskan bahwa judul diperlukan oleh sebuah tulisan. Namun, juga tidak bisa sembarang menuliskan kata-kata di atas tulisan. Ada sebuah artikel yang menarik di natureindex.com yang berbicara bagaimana membuat judul. Itu agar kita tidak asal-asalan membuat judul.

1.     Judul jangan menggunakan kata-kata yang teknis
Judul sebaiknya menggunakan kata-kata yang mudah dimengerti. Penggunaan istilah teknis akan menyulitkan orang memahami maksud tulisannya itu. “Judul yang bagus tidak menggunakan jargon yang tidak perlu,” kata Elisa De Ranieri, pemimpin redaksi di jurnal Nature Communications.

2.     Judul yang bagus mudah dicari
Sebagian besar pembaca saat ini mengakses jurnal elektronik, yang diindeks dalam database ilmiah seperti Scopus dan Google Scholar. Agaknya ini untuk tulisan ilmiah. Namun, saya kira, semua tulisan saat ini hanya ramah google. Dengan demikian akan mudah ditemukan oleh si “mbah google”.

3.     Judul yang baik didukung oleh data
Penulis harus berhati-hati untuk tidak membuat klaim apa pun dalam judul yang tidak dapat didukung oleh bukti. Misalnya, bila judul kita Pemalsu Dokumen UU Ciptaker, tentu dalam tulisan harus ada data pendukung bahwa UU ciptaker memang telah dipalsukan, juga ada data mengapa orang itu bisa sampai dituduh pemalsu. Jika dalam tulisan itu tidak ada datanya, tulisan ini tidak layak untuk disiarkan. Atau, ganti judulnya.

4.     Judul yang bagus memicu rasa ingin tahu
“Judul harus menarik minat orang yang mencari literatur dalam sekejap – cukup mereka mengklik judul untuk membaca abstraknya. Ilmu yang belum dibaca adalah ilmu yang hilang, ”kata Christine Mayer, pemimpin redaksi jurnal Advanced Therapeutics.

Jelas, dalam tulisannya lebih populer juga judul model seperti itu berlaku. Rasa ingin tahu atau penasaran akan memaksa orang untuk mengeklik judul atau membuka buku lalu membaca tulisan.

Nah, terbukti, tulisan itu memerlukan judul. Bukan cuma agar tulisannya kelihatan menarik karena mempunyai kepala tulisan, melainkan banyak hal yang terkandung dalam judul. Salam.

Baca juga: 

Kamis, 10 Juli 2025

Ingat, Orang Tua Lebih Baik Dipisah

IqbalStock-Pixabay

ACAP KITA temukan ada dua penulisan orang tua yang berbeda. Ada yang menulis orang tua, ada yang orangtua. Mana yang benar?

Ya, ada alasan yang sempat terlontar mengapa orang tua harus disambung cara penulisannya. Kata mereka, orangtua adalah orang yang melahirkan kita, bukan orang yang sudah tua. Toh, dalam bahasa Inggris juga ditulis dengan satu kata parent. Ingat ya, orang tua itu dalam bahasa Indonesia.

Benar, tapi kurang tepat. Pertama, orang tua menjadi orang yang sudah tua dan orang tua yang mengacu ke orang yang melahirkan kita amat bergantung pada konteks kalimat atau pembicaraan. Dalam kalimat:

  • Orang tua tergeletak di pos ronda dan kedinginan
  • Orang tuaku bukanlah orang yang kaya harta melainkan kaya hati
  • Ikutilah para ulama, mereka orang tua kita

Dari kalimat ini saja kita sudah tahu mana yang bermakna orang yang sudah tua dan mana orang tua yang melahirkan kita. Tidak akan tertukar tanpa perlu membedakan cara penulisannya orang tua dan orangtua.

Kalimat pertama sudah jelas bermakna orang yang sudah tua. Kalimat kedua jelas bermakna orang yang melahirkan kita. Yang ketiga bermakna orang yang kita hormati seperti orang tua yang melahirkan dan mengasuh kita.

Tidak usah lebai, kalau tidak dibedakan cara penulisannya orang akan salah memaknai.

Tidak ada alasan

qoute
Kedua, orang tua adalah kata majemuk. Orang tua yang bermakna adanya hubungan kekerabatan atau darah dan moral tidak boleh bisa disisipi dengan kata lain di antara keduanya.

Misalnya saya menulis, kita harus menghormati orang tua, ini bermakna orang yang memiliki kekerabatan atau orang yang melahirkan kita. Akan berubah maknanya bila ditulis kita harus menghormati orang yang sudah tua, frasa orang tua menjadi kata umum.

Ketiga, alasan mengapa orang tua harus dipisah adalah orang tua adalah sejajar pembentukannya dengan kata lain yang memakai kata orang. Misalnya, orang tua, orang muda, orang botak, orang lucu, orang cantik.

Kita juga tidak membedakan penulisan orang tua yang bermakna orang yang melahirkan atau memiliki kekerabatan dan orang yang sudah tua. Kita jangan mengada-ngadalah.

Jadi, ingat tidak ada alasan untuk menulis orang tua menjadi orangtua. Namun, kalau mau terlihat beda (tapi salah), silakan. Salam.

Baca juga:

Rabu, 09 Juli 2025

Kenapa Harus Miring, Enggak Enak Tahu

Image by <a href="https://pixabay.com/users/pexels-2286921/?utm_source=link-attribution&utm_medium=referral&utm_campaign=image&utm_content=1853507">Pexels</a> from <a href="https://pixabay.com//?utm_source=link-attribution&utm_medium=referral&utm_campaign=image&utm_content=1853507">Pixabay</a>

APA ENAKNYA miring? Relatif sih jawaban, yang suka pasti akan bilang memang harus miring, yang tidak suka bakal bilang ngerepotin. Tapi, yang pasti suatu posisi yang tidak normal akan menarik perhatian. Itulah yang terjadi dengan huruf miring.

Teman muda saya datang lagi, kali ini mengelauh, kenapa ya ada huruf miring, memang fungsinya apa? Langsung saya jawab, huruf miring itu untuk menulis judul buku, nama media massa, kata asing, atau frasa atau istilah yang ingin ditekankan. Dengan cuweknya teman saya itu berujar, “Sudah tahu.” Saya hanya menahan napas, tapi saya  tahu yang dia maksud: kenapa huruf-huruf itu harus miring. 

Tapi, ups, saya ingat, dia pasti ingin menanyakan alasan logis kenapa judul buku, nama media massa, kata asing, dan menekankan istilah atau frasa harus ditulis dengan huruf miring. Masih ingat, dong, dia juga pernah menanyakan hal yang sama mengenai huruf besar atau kapital.

Okelah, saya akan menjawab pertanyaan itu. Kalau soal bagaimana menggunakan huruf miring, ada PUEBI. Kalau alasan kenapa ada huruf miring, dibolak-balik itu PUEBI tidak bakal ada. Untuk memenuhi rasa penasaran teman saya itu, saya akan menjelaskan.


Meminta perhatian

Sebenarnya hampir tidak jauh berbeda sama penggunaan huruf besar. Huruf miring dibuat untuk menyadarkan pembaca bahwa yang dihadapi bukanlah kata atau frasa yang biasa. Ini saya rasa alasan paling logis. Ketika kita membaca tiba-tiba ada kata yang dimiringkan, itu artinya kata itu menuntut perhatian. Misalnya:

Perjalanan ke rumah itu sangat jauh sehingga membuat keringat dweleran.
Saya membaca buku Siti Nurbaya ketika masih kelas enam SD.

Ketika bertemu kata dweleran, apalagi huruf dimiringkan, orang lansung ngeh bahwa kata itu minta perhatian karena bukan kosa kata bahasa Indonesia melainkan kosa kata bahasa Jawa. Lalu, pada kalimat kedua, Siti Nurbaya jelas itu judul buku, konteks kalimatnya sudah menunjukkan itu. Namun, bagaimana bila tidak menggunakan kata buku.

Kalau saya menulis "Saya menemukan Siti Nurbaya di Senen di antara tumpukan sampah", lalu saya menulis lagi "Saya menemukan Siti Nurbaya di Senen di antara tumpukan sampah". Pada contoh pertama, orang langsung yakin bahwa itu adalah nama orang. Namun, pada contoh berikut, dengan memiringkan atau menggarisbawahi Siti Nurbaya, orang langsung tahu bahwa itu hanyalah sebuah buku. 

Dari sini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa huruf miring juga bisa memberi makna pada kata atau frasa. Catatan: huruf miring bisa diganti dengan garis bawah bila memang tidak memungkinkan untuk membuat huruf miring.

Jadi, mengapa huruf harus miring, pertama, karena kata atau frasa yang dimiringkan itu meminta perhatian khusus; kedua, huruf miring juga bisa memberi makna pada kata atau frasa. Ada alasan lain? Ya, pasti ada. Silakan.

Baca juga:

Minggu, 06 Juli 2025

Bahasa Betawi Enggak Bertingkat, Tapi Ada Etikanya

Bahasa Betawi enggak bertingkat, tapi sopan santun tetap ada. Bahasa Betawi enggak bertingkat, kalau bertingkat itu namanya loteng. Eng, ing, eng….

BAHASA MELAYU dialek Jakarta yang biasa disebut bahasa Jakarta atau Betawi agaknya sudah menjadi bahasa gaul bagi seluruh penduduk Indonesia. Bahkan, bahasa ini telah menjadi semacam identitas bagi remaja di daerah bahwa mereka adalah remaja metropolis, bukan remaja kuno.

Malahan juga, kebisaan berbahasa Jakarta dianggap sebagai modal untuk melangkah guna mengadu nasib ke Jakarta.

Bahasa Jakarta dianggap lebih memiliki nilai ekonomis ketimbang bahasa daerahnya sendiri. Agaknya itu juga yang membuat daerah mengeluh makin enggannya remaja mempelajari bahasa daerahnya.

Tingkat keekonomian bahasa ini kemudian dibuktikan dengan kembalinya para perantau dari Jakarta ketika Lebaran. Mereka dianggap berhasil dan berbahasa Jakarta seolah tidak paham bahasa daerahnya sendiri.

Sayangnya, saat ini ada yang salah dalam memahami bahasa melayu dialek Jakarta itu. Bahasa Betawi tidak mengenal tingkatan bahasa, seperti bahasa Jawa yang punya bahasa ngoko dan krama. Namun, setiap bahasa memiliki etika atau tingkat kesantunan. Inilah yang tidak diperhatikan oleh para penutur bahasa Jakarta—terutama yang memang baru bisa berbahasa Jakarta.

https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Pencak_Silat_Betawi_2.jpg

Ada etikanya

Banyak orang dari luar yang belum begitu lama mengenal budaya Betawi, dengan jumawanya ber-lu-gua dengan orang yang lebih tua. Dia belum tahu, bahasa Betawi biarpun tidak mengenal tingkatan dalam berbahasa, tapi mengenal etika.

Tetap ada perbedaan berbicara dengan teman dan orang tua. Apalagi, sedari kecil sudah ditekankan untuk menghormati orang yang lebih tua. Songon bener, kalau sama orang tua ngomongnya seperti itu. Misalnya, ketika seorang nenek-nenek sedang berjalan, dia menyapa, “Nek, mau ke mana? Lu enggak ngajak cucu lu.”

Itu jelas anak muda yang kagak ada sopan santunnya. Anak seperti ini mah kudu dikurung bareng sama buaya, biar kapok.

Memang, sih, bahasa yang tidak ada tingkatannya, tidak memiliki kata khusus, untuk membedakan ketika berbicara dengan lawan bicara tertentu. Namun, etika bisa membuat penutur memilih kata yang sesuai dengan kondisi lawan bicaranya. Jangan sampai dikurung bareng buaya ya. Salam.

Baca juga:

Jumat, 06 Juni 2014

Tidak Konsisten: Harusnya Penghobi bukan Pehobi?

Kita acap mengatakan tidak konsisten ketika ada sesuatu yang menyimpang dari aturan formal yang kita pahami. Begitu juga yang terjadi dalam bahasa Indonesia. Orang langsung mengatakan tidak konsisten ketika menemukan bentuk yang menyimpang dari aturan tata bahasa.

Itu pula yang terjadi dalam sebuah diskusi internal mengenai bahasa Indonesia di kantor saya. Seorang teman dengan penuh semangat mengatakan bahwa bahasa Indonesia tidak konsisten. Apa pasal? Teman saya ini melihat, bila pe- bertemu kata yang diawali konsonan /h/ menjadi peng- mengapa ketika bertemu dengan kata  hobi menjadi pehobi bukan penghobi sebagaimana pe+hubung menjadi penghubung, pe+hujat menjadi penghujat, pe+hasut menjadi penghasut, pe+hafal menjadi penghafal, pe+hormat menjadi penghormat, dan seterusnya.

Sebelum menjawab rasa ingin tahu teman saya, ada baiknya kita pahami dulu bahwa tata bahasa sejatinya hanya menampung apa yang ada dalam masyarakat. Aturan-aturan yang dibuatnya berdasarkan data yang hidup di masyarakat. Dengan begitu, ketika menemukan suatu bentuk yang tidak sesuai dengan aturan yang ada jangan terburu-buru mengatakan bahwa itu tidak konsisten. Tetapi, kita harus memahami bahwa itulah yang terjadi dalam realitas kebahasaan kita. Kita perlu menguji dulu mengapa bentuk itu terjadi. Jangan sampai kita mengatakan suatu bentuk tidak konsisten hanya karena ketergesaan.

Kembali ke persoalan kita. Karena tata bahasa hanya menampung realitas bahasa yang ada, artinya pehobi merupakan bentuk yang memang ada dan hidup dalam masyarakat.   Bila mengacu pada argumentasi yang diajukan teman saya, sudah pasti bentuk ini tidak konsisten. Tunggu dulu. Saya masih ingat, ada relasi antara me- dengan pem- dan ber- dengan pe-.  Mari kita buktikan: kata menulis berelasi dengan penulis, membeli berelasi dengan pembeli, menubruk berelasi dengan penubruk, bertani berelasi dengan petani, bertualang berelasi dengan petualang. Akan halnya pehobi, tampaknya kata ini diturunkan dari kata berhobi. Kenapa berhobi? Karena tidak ada bentuk menghobi  sebagaimana tidak ada bentuk menani. Jadi, pehobi adalah bentuk yang benar dan bersistem dalam bahasa Indonesia. Masih mau mengatakan bahwa itu tidak konsisten.

Agar teman saya tidak sedikit-sedikit mengatakan tidak konsisten, kita lihat ada juga bentuk lain yang bisa dianggap tidak konsisten. Mengapa standar+isasi menjadi standardisasi bukan standarisasi, efektif+itas menjadi efektivitas buka efektifitas, aktif+itas menjadi aktivitas bukan aktifitas. Itu terjadi karena yang diserap dari kata-kata tersebut bukan kata dasarnya. Standar merupakan serapan dari standard, standardisasi merupakan serapan dari standardization bukannya  standar+isasi. Efektif merupakan serapan dari effective, efektivitas merupakan serapan dari effectivity bukannya efektif+itas. Adapun aktif merupakan serapan dari active, aktivitas merupakan serapan dari activity bukannya aktif+itas.

Semoga saja dengan penjelasannya ini teman saya jadi tidak mudah untuk mengatakan bahasa Indonesia tidak konsisten. Iya tidak man.