Tampilkan postingan dengan label budaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label budaya. Tampilkan semua postingan

Minggu, 06 Juli 2025

Bahasa Betawi Enggak Bertingkat, Tapi Ada Etikanya

Bahasa Betawi enggak bertingkat, tapi sopan santun tetap ada. Bahasa Betawi enggak bertingkat, kalau bertingkat itu namanya loteng. Eng, ing, eng….

BAHASA MELAYU dialek Jakarta yang biasa disebut bahasa Jakarta atau Betawi agaknya sudah menjadi bahasa gaul bagi seluruh penduduk Indonesia. Bahkan, bahasa ini telah menjadi semacam identitas bagi remaja di daerah bahwa mereka adalah remaja metropolis, bukan remaja kuno.

Malahan juga, kebisaan berbahasa Jakarta dianggap sebagai modal untuk melangkah guna mengadu nasib ke Jakarta.

Bahasa Jakarta dianggap lebih memiliki nilai ekonomis ketimbang bahasa daerahnya sendiri. Agaknya itu juga yang membuat daerah mengeluh makin enggannya remaja mempelajari bahasa daerahnya.

Tingkat keekonomian bahasa ini kemudian dibuktikan dengan kembalinya para perantau dari Jakarta ketika Lebaran. Mereka dianggap berhasil dan berbahasa Jakarta seolah tidak paham bahasa daerahnya sendiri.

Sayangnya, saat ini ada yang salah dalam memahami bahasa melayu dialek Jakarta itu. Bahasa Betawi tidak mengenal tingkatan bahasa, seperti bahasa Jawa yang punya bahasa ngoko dan krama. Namun, setiap bahasa memiliki etika atau tingkat kesantunan. Inilah yang tidak diperhatikan oleh para penutur bahasa Jakarta—terutama yang memang baru bisa berbahasa Jakarta.

https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Pencak_Silat_Betawi_2.jpg

Ada etikanya

Banyak orang dari luar yang belum begitu lama mengenal budaya Betawi, dengan jumawanya ber-lu-gua dengan orang yang lebih tua. Dia belum tahu, bahasa Betawi biarpun tidak mengenal tingkatan dalam berbahasa, tapi mengenal etika.

Tetap ada perbedaan berbicara dengan teman dan orang tua. Apalagi, sedari kecil sudah ditekankan untuk menghormati orang yang lebih tua. Songon bener, kalau sama orang tua ngomongnya seperti itu. Misalnya, ketika seorang nenek-nenek sedang berjalan, dia menyapa, “Nek, mau ke mana? Lu enggak ngajak cucu lu.”

Itu jelas anak muda yang kagak ada sopan santunnya. Anak seperti ini mah kudu dikurung bareng sama buaya, biar kapok.

Memang, sih, bahasa yang tidak ada tingkatannya, tidak memiliki kata khusus, untuk membedakan ketika berbicara dengan lawan bicara tertentu. Namun, etika bisa membuat penutur memilih kata yang sesuai dengan kondisi lawan bicaranya. Jangan sampai dikurung bareng buaya ya. Salam.

Baca juga:

Sabtu, 05 Juli 2025

Apa Kabar Lenong Betawi?

Lenong betawi dulu pernah berjaya. Setiap hajatan orang selalu menanggap lenong untuk hiburannya semalam suntuk. Namun, waktu telah mengggerus kepopulerannya. Revitalisasi sudah, dukungan sudah. Si teater tradisional Betawi ini tetap saja melenggang di jalan sepi.

LENONG betawi kian samar keberadaannya, seakan tenggelam di tengah kesibukan kota yang kian tak peduli pada panggung tradisi. Padahal, pada era 1950 hingga 1970-an, lenong sempat menjadi primadona hiburan masyarakat Betawi.

Ketika itu, lenong betawi bukan hanya pertunjukan, melainkan juga ajang kegembiraan yang mempererat warga kampung. Setiap hajatan besar—mulai dari pesta pernikahan, khitanan, hingga acara syukuran—nyaris selalu menghadirkan lenong sebagai hiburan utama. Penonton tak segan bergadang semalaman hanya untuk menikmati kisah-kisah lucu, cerita kepahlawanan, hingga sindiran sosial yang dibawakan para pemain lenong dengan bahasa Betawi yang khas.

Kejayaan lenong di masa itu didukung erat oleh suasana masyarakat yang masih akrab dan guyub. Kehidupan sosial yang lekat memberikan ruang bagi lenong tumbuh subur sebagai cermin kehidupan sehari-hari: menertawakan kesulitan hidup, mengkritik perilaku serakah, serta menyampaikan pesan moral yang mengena. Namun, seiring perkembangan zaman, modernisasi menghadirkan bentuk hiburan praktis dan cepat.

 

https://commons.wikimedia.org/

Bisa punah si lenong

Kemunculan televisi, diikuti internet, mengubah cara orang menikmati tontonan. Perlahan, lenong mulai kehilangan penggemar. Acara hajatan yang dulu ramai menanggap lenong, kini lebih memilih hiburan seperti organ tunggal atau musik dangdut yang dianggap lebih modern dan sesuai dengan tren.

Saat ini, lenong betawi hanya sesekali tampil di acara budaya atau festival kesenian Betawi. Tentu saja kita tidak ingin lenong musnah.  Sebab, kata Koentjaraningrat (dalam Pengantar Antropologi [2009]), “Kebudayaan tradisional yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman akan terpinggirkan.”

Sepinya peminat membuat para seniman lenong harus berinovasi agar tetap eksis, misalnya dengan membuat lenong bertema isu kontemporer, serta mempersingkat durasi pementasan agar sesuai selera penonton zaman sekarang. Upaya tersebut patut diapresiasi meski jalan ke depan tidak mudah. Itu memang sudah harus dlakukan. “Kesenian tradisional seperti lenong perlu revitalisasi agar bisa bertahan di tengah perubahan zaman,” kata Ratna Riantiarno, pendiri Teater Koma kepada Tempo (2010).

Kita harus ingat bahwa lenong betawi lebih dari sekadar hiburan; ia merekam identitas, bahasa, humor, dan nilai-nilai kearifan lokal Betawi. Jika tidak ada usaha serius untuk merawat dan menghidupkannya, lenong yang menjadi kebanggaan orang Betawi itu bisa punah ditelan waktu. Sudah saatnya semua elemen—mulai dari masyarakat, pemerintah, hingga pelaku seni—bersatu menjaga lenong agar tetap hidup dan bersinar, bukan sekadar cerita yang terlupa di masa depan. Salam.

Baca juga: