Minggu, 13 Juli 2025

Tuduhan Ijazah Jokowi Palsu dan Bias Konfirmasi


Prabowo Subianto welcomed the arrival of President Jokowi during a visit to his residence (2016)

TUDUHAN IJAZAH Jokowi palsu memang bikin pusing. Namun, sejatinya ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian kita semua dari kasus tersebut. 

Baru-baru ini, publik kembali dihebohkan oleh pernyataan kontroversial dari dr. Tifauzia_Tyassuma alias dr Tifa. Dokter yang satu ini enggan menjawab pertanyaan yang diajukan oleh polisi sebelum melihat ijazah asli Jokowi. 

"Karena pertanyaan-pertanyaan itu semua berkaitan dengan ijazah yang menjadi polemik selama 10 tahun ini. Ya tentu saja yang saya tanyakan dulu, yang saya klarifikasi dulu apakah ijazahnya ada? Soal ijazahnya tidak ada, ya kita percuma kan bertanya jawab gitu ya," ujarnya kepada Detik.com pada akhir pekan  pertama Juli 2025.


Logical fallacy dan bias konfirmasi

qoute
Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan logis: bagaimana seseorang bisa menyatakan ijazah Jokowi palsu tanpa pernah melihat yang aslinya? Hal ini mengarah pada praktik komunikasi yang cenderung spekulatif dan sarat asumsi. yang dapat disebut sebagai logical fallacy. Pernyataan tuduhan ijazah Jokowi palsu mengandung argumentum ad ignorantiam. Yakni: penarikan kesimpulan dari sesuatu belum terbukti kebenaran.

Seperti kita ketahui, penarikan kesimpulan ijazah Jokowi itu palsu hanya berdasarkan data digital ijazah jokowi. Padahal, ijazah Jokowi itu adalah kertas hasil cetakan dan tulisan tangan. . Dari sini saja sudah ada sesuatu yang perlu diperdebatan . 

Lalu soal skripsi Jokowi yang dituduh mengggunakan font terbaru, juga sudah dibantah dan tuduhan tidak terbukti. Lalu, bukti lain seperti lokasi KKN Jokowi yang ternyata terbukti benar dari masyarakat sekitar. Apa yang terjadi? Semua diabaikan.  

Lalu, ketika ada pengakuan Pak Kasmujo bahwa dia bukan pembimbing skripsi Jokowi dan hanya pembimbing akademik, langsung itu dianggap bahwa Jokowi tidak pernah membuat skripsi. Ketika UGM mengkonfirmasi bahwa ijazah Jokowiitu asli, kelompok pendukung ijazah Jokowi palsu  membantah. Mereka menganggap ada konspirasi. Begitu juga ketika Polri mengkonfirmasi keaslian ijazah Jokowi.

Dari sini kita dapat menarik pelajaran bahwa telah terjadi confirmation bias (bias konfirmasi). Yaitu fenomena seseorang cenderung mencari, mengingat, dan mempercayai informasi yang mendukung keyakinannya, dan mengabaikan bukti yang bertentangan. 

Jadi, jika seseorang sejak awal sudah meyakini bahwa Jokowi "bermasalah", bukti resmi apa pun cenderung dianggap sebagai rekayasa atau konspirasi. Saya kok  merasa persoalan ini tidak akan selesai. Bayangkan semua hal yang mengkonfirmasikan kebenaran dibantah.


Persepsi kolektif

Saya teringat Elisabeth Noelle-Neumann dengan spiral keheningannya.  Mengapa tuduhan ijazah palsu bisa begitu bertahan  lama? Karena media turut mendukungnya. Alhasil, opini tuduhan ijazah palsu mendominasi ruang publik. Pihak-pihak yang tetap percaya pada legalitas ijazah Jokowi mungkin memilih diam karena tidak ingin terlibat dalam pusaran debat kusir.

Cara dr. Tifa menyampaikan klaimnya mengandung model komunikasi asymmetrical two-way communication. Model komunikasi ini tidak seimbang.  Satu pihak tetap yang tetap menjadi pihak yang dominan dan berusaha membuat pihal lain  menyesuaikan diri dengan kepentingannya. Ini adalah bentuk komunikasi yang manipulatif dan bisa menciptakan frame seolah-olah yang dituduh harus membuktikan dirinya tidak bersalah. Berbalik dari prinsip presumption of innocence.

Namun, bertahan lamanya tuduhan ijazah Jokowi palsunya, juga disuburkan oleh polarisasi. Satu kelompok berusaha menjatuhkan kelompok yang lain.  Juga keberpihakan media, termasuk media sosial.

Selain itu, tuduhan itu semakin menjadi karena sudah terinternalisasi pada anggota dalam kelompok.  Berger dan Luckmann menyatakan,  realitas sosial dibentuk oleh persepsi kolektif, bukan semata fakta objektif. Jadi jika komunitas tertentu mempercayai narasi bahwa Jokowi memalsukan ijazah, maka itu menjadi "realitas" di kelompok itu, meskipun bertentangan dengan fakta resmi.

Jika persepsi kolektif itu juga menyangkut ketidakpercayaan terhadap institusi resmi, tidak ada lagi yang dapat dipercaya. Bukankah ini bertentangan cita-cita kita bernegara. Semoga elite politik memahami hal tesebut dan kasus ijazah Jokowi palsu  ini bisa diselesaikan dengan baik. Salam.

Baca juga:

Sabtu, 12 Juli 2025

Polarisasi Tidak Pernah Usai

Demontrasi mahasiswa di Padang 2022

PEMILU SUDAH berlalu lama. Polarisasi tidak pernah usai.  Namun, itu memang gejala di banyak negara, termasuk Indonesia. Wow.  Tapi benarkah itu terjadi secara alami? 

Jawabannya: tidak. Polarisasi tidak pernah usai, karena memang dipelihara oleh para tokoh politik atau kalangan elite. Bukan untuk menyelesaikan masalah, melainkan  justru untuk mempertahankan pengaruh dan kekuasaan.


Polarisasi yang dipelihara demi kekuasaan

Tokoh-tokoh publik tahu bahwa keterbelahan masyarakat bisa menciptakan loyalitas yang kuat. Mestinya meraka juga tahu, itu juga rentan untuk menciptakan kegaduhan. Dengan loyalitas yang tinggi, muncullah narasi “kami” versus “mereka”, seolah hanya ada dua pilihan dan yang berbeda adalah musuh.

Bahkan ketika isu utama telah reda, narasi konflik tetap dihidupkan. Polarisasi bukan lagi soal ideologi, melainkan soal menjaga basis pendukung agar tetap solid dan tidak berpaling.

Menurut Brookings Institution, yang ditulis Darrel M. West dan Fred Dews, polarisasi di Amerika Serikat menjadi lebih tajam karena elite politik secara sadar menggunakan konflik identitas untuk mengonsolidasikan kekuatan. Hal serupa bisa kita lihat juga dalam konteks lokal: saat menjelang pemilu, isu-isu lama kerap dimunculkan kembali agar sentimen tetap menyala.


Identitas sosial dan post truth

qoute
Fenomena ini dapat dipahami melalui TeoriIdentitas Sosial yang dikembangkan oleh Henri Tajfel dan John Turner (1970). Teori ini menjelaskan bahwa manusia cenderung mengelompokkan diri ke dalam kelompok sosial tertentu (in-group), lalu membedakan diri dari kelompok lain (out-group).

Ketika elite mengeksploitasi kecenderungan ini, identitas bukan lagi sumber kedamaian, melainkan alat perpecahan. Konflik pun menjadi bagian dari strategi politik. Selama ada keuntungan dari keterbelahan, rekonsiliasi tidak akan pernah benar-benar diupayakan.

Unggahan konten di media sosial yang saling menyudutkan lawan, sesungguhnya merupakan upaya untuk mempererat barisan bukan untuk menyerang lawan.  Pasalnya, meskipun ditunjukkan data tentang kebohongan idolanya, kelompok pendukung ini tidak akan percaya. Fakta dianggap tidak sepenting emosi. Seperti prinsip post truth: kebenaran tidak lagi dinegosiasikan secara rasional, melainkan ditentukan oleh siapa yang bicara.


Algoritma media sosial

Jadi bila  ada media sosial mengunggah tentang keberhasilan Prabowo, misalnya, pastilah yang datang adalah orang-orang yang telah mengidentifikasi dengan Prabowo. Jika yang diunggah adalah keberhasilan Anis, yang datang pasti adalah orang yang mendukung Anis. Jadi, unggahan-uanggahan itu pada dua kubu atau tiga kubu sejatinya hanya untuk memperkuat dukungan.

Sebenarnya, semua orang sudah mengidentifikasikan dirinya. Henri Tajfel dan John Turner bilang, soal dukungan di media sosial tidak usah dibentuk secara formal. Pastilah orang-orang yang melihat konten tertentu di media sosial, apalagi sampai memberikan comment, pastinya memliki identitas sosial yang sama.  

Sudah begitu, algoritma media sosial juga ikut mendukung. Dengan echo chamber, orang hanya akan direkomendasikan dengan  konten sejenis yang sering diakses. Filter bubble juga membuat orang hanya melihat apa yang memang dia suka. Jadi, wajar saja, jika polarisasi tidak pernah usai.

Apakah polarisasi bisa berakhir? Bisa, bila para tokoh dan para elite ingin mengakhiri. Salam.

Baca juga:


Jumat, 11 Juli 2025

Kenapa Tulisan Harus Ada Judulnya? Ini 3 Alasannya

tulisan harus ada judul


ADA PERTANYAAN yang nyeleneh, tapi terpaksa saya pikirkan. Meskipun sepele, pertanyaan kenapa tulisan harus ada judulnya bikin senyum, tapi memang iya kenapa tulisan ada judulnya ya. Memangnya kalau tidak ada judulnya bukan tulisan. Lantas, bagaimana judul tulisan yang baik itu.

Pertanyaan ini dilontarkan oleh seorang peserta kelas menulis saya. Dia suka bercanda, makanya saya tertawa. Dia juga ikut tertawa. Pertanyaan tulisan harus ada judulnya, jadi mirip pertanyaan kenapa anjing harus menggonggong, memangnya kalau tidak menggonggong bukan anjing.

Tiap tulisan yang dimuat di media massa, pasti ada judulnya. Tapi, apa yang tidak berjudul bukan tulisan? Ya, tetap tulisan.

Hakikat judul

Sekarang mari kita jawab dulu pertanyaan yang paling mendasar: apa itu judul? Judul bisa disamakan dengan kepala. Di kepala ada identitas, ide atau buah pikiran, dan wawasan. Yuk, kita lihat satu per satu.

Pertama, tulisan harus ada judulnya karena judul itu identitas

Dari judul kita sudah bisa mengetahui tulisan itu opini, fiksi, atau karya ilmiah. Kalau tulisan itu berjudul Bunga Terakhir untuk Santi, kita pasti bisa menduga itu merupakan fiksi atau tulisan yang bergaya fiksi walau isinya ilmiah. Kalau berjudul Kebencian Berpengaruh Terhadap Kesehatan, kita dapat memastikan itu merupakan tulisan ilmiah tulisan.

Kedua, tulisan harus ada judulnya karena di judul tulisan ada ide atau buah pikiran

Judul sudah mencerminkan apa yang ada dalam tulisan. Dengan kata lain, ide atau buah pikiran penulisan ada dalam judul. Judul Teknik Mengolah Sampah Menjadi duit, pembaca sudah bisa membaca tulisan yang akan dibacakan akan membahas bagaimana mengolah sampah hingga bisa menghasilkan duit. Menulis Semudah Berbicara, judul seperti ini tentu akan pembaca berharap akan mendapatkan teknik atau cara agar bisa menulis semudah berbicara.

Ketiga, tulisan harus ada judulnya karena di judul ada wawasan

Dari judul pembaca juga bisa menduga kedalaman isi tulisan atau wawasan si penulis. Kompetensi penulis terlihat di judul tersebut. Kalau ada judul, Membeli Properti Tanpa Duit, tentu kita bisa membayangkan bahwa si penulis adalah orang yang memang sudah berpengalaman dalam bidang properti. Tulisannya juga pasti berisi trik atau pengalaman si penulis yang berhubungan dengan properti.

Itulah mengapa sebuah tulisan harus ada judulnya. Jadi seperti analogi di atas. Judul itu adalah kepala. Tubuh tanpa kepala masih bisa dibilang tubuh, tapi kita tidak tahu tubuh siapa itu.

Judul perlu tapi tidak asal

qoute
Saya sudah menjelaskan bahwa judul diperlukan oleh sebuah tulisan. Namun, juga tidak bisa sembarang menuliskan kata-kata di atas tulisan. Ada sebuah artikel yang menarik di natureindex.com yang berbicara bagaimana membuat judul. Itu agar kita tidak asal-asalan membuat judul.

1.     Judul jangan menggunakan kata-kata yang teknis
Judul sebaiknya menggunakan kata-kata yang mudah dimengerti. Penggunaan istilah teknis akan menyulitkan orang memahami maksud tulisannya itu. “Judul yang bagus tidak menggunakan jargon yang tidak perlu,” kata Elisa De Ranieri, pemimpin redaksi di jurnal Nature Communications.

2.     Judul yang bagus mudah dicari
Sebagian besar pembaca saat ini mengakses jurnal elektronik, yang diindeks dalam database ilmiah seperti Scopus dan Google Scholar. Agaknya ini untuk tulisan ilmiah. Namun, saya kira, semua tulisan saat ini hanya ramah google. Dengan demikian akan mudah ditemukan oleh si “mbah google”.

3.     Judul yang baik didukung oleh data
Penulis harus berhati-hati untuk tidak membuat klaim apa pun dalam judul yang tidak dapat didukung oleh bukti. Misalnya, bila judul kita Pemalsu Dokumen UU Ciptaker, tentu dalam tulisan harus ada data pendukung bahwa UU ciptaker memang telah dipalsukan, juga ada data mengapa orang itu bisa sampai dituduh pemalsu. Jika dalam tulisan itu tidak ada datanya, tulisan ini tidak layak untuk disiarkan. Atau, ganti judulnya.

4.     Judul yang bagus memicu rasa ingin tahu
“Judul harus menarik minat orang yang mencari literatur dalam sekejap – cukup mereka mengklik judul untuk membaca abstraknya. Ilmu yang belum dibaca adalah ilmu yang hilang, ”kata Christine Mayer, pemimpin redaksi jurnal Advanced Therapeutics.

Jelas, dalam tulisannya lebih populer juga judul model seperti itu berlaku. Rasa ingin tahu atau penasaran akan memaksa orang untuk mengeklik judul atau membuka buku lalu membaca tulisan.

Nah, terbukti, tulisan itu memerlukan judul. Bukan cuma agar tulisannya kelihatan menarik karena mempunyai kepala tulisan, melainkan banyak hal yang terkandung dalam judul. Salam.

Baca juga: 

Pacu Semangat Menulis lewat Ajang Lomba FLS3N



TENTU SAJA kita senang, bila siswa mampu mengekspresikan dirinya. Salah satu caranya adalah dengan menulis. Untung ada FLS3N yang mewadahi ekspresi siswa dalam menulis dengan lomba menulis feature (jurnalistik) dan lomba menulis cerpen.

Sama-sama kita ketahui, dunia pendidikan bukan hanya soal angka dan ujian, melainkan tentang bagaimana siswa bisa mengekspresikan gagasan dan kreativitasnya. Salah satu ruang ekspresi yang sangat penting adalah ajang lomba menulis. Yang menjadi fokus saya adalah menulis feature jurnalistik.

Dalam pelaksanaan Festival dan Lomba Seni dan Sastra Siswa Nasional  (FL3SN), para siswa diajak untuk tidak hanya menjadi pembaca pasif, tetapi juga penulis aktif yang mampu menggambarkan kehidupan sekitarnya melalui kata-kata. Bukan hanya itu, melainkan juga berupaya menggali kehidupan orang-orang sekitar dan para tokoh yang menginspirasi.

Banyak guru dan pembina literasi di sekolah mengaku antusias mendampingi siswa dalam lomba ini. Karena dari proses menulis itulah, potensi siswa sering kali muncul—baik dalam hal gaya bahasa, kedalaman analisis, maupun kemampuan membangun alur cerita.

Menariknya, dalam sebuah catatan tentang pelaksanaan lomba penulisan feature FLS3N di Bogor, dijelaskan secara rinci bagaimana lomba ini dijalankan, tantangan peserta, serta semangat para pembina yang tak kalah hebatnya.

Sayangnya kemampuan teknis para guru atau pembimbing ini kurang memadai. Ada beberapa catatan mengenai hal tersebut di sini.

Ajang seperti ini sangat penting untuk terus dilanjutkan, karena menjadi bagian dari upaya menghidupkan budaya literasi di sekolah secara konkret dan berkelanjutan. Selain itu, lomba penulisan feature juranlistik di FLS3N juga mengajarkan kepada siswa untuk tidak sembarangan menulis tanpa memperoleh fakta yang benar.

Baca juga:

Kamis, 10 Juli 2025

Ingat, Orang Tua Lebih Baik Dipisah

IqbalStock-Pixabay

ACAP KITA temukan ada dua penulisan orang tua yang berbeda. Ada yang menulis orang tua, ada yang orangtua. Mana yang benar?

Ya, ada alasan yang sempat terlontar mengapa orang tua harus disambung cara penulisannya. Kata mereka, orangtua adalah orang yang melahirkan kita, bukan orang yang sudah tua. Toh, dalam bahasa Inggris juga ditulis dengan satu kata parent. Ingat ya, orang tua itu dalam bahasa Indonesia.

Benar, tapi kurang tepat. Pertama, orang tua menjadi orang yang sudah tua dan orang tua yang mengacu ke orang yang melahirkan kita amat bergantung pada konteks kalimat atau pembicaraan. Dalam kalimat:

  • Orang tua tergeletak di pos ronda dan kedinginan
  • Orang tuaku bukanlah orang yang kaya harta melainkan kaya hati
  • Ikutilah para ulama, mereka orang tua kita

Dari kalimat ini saja kita sudah tahu mana yang bermakna orang yang sudah tua dan mana orang tua yang melahirkan kita. Tidak akan tertukar tanpa perlu membedakan cara penulisannya orang tua dan orangtua.

Kalimat pertama sudah jelas bermakna orang yang sudah tua. Kalimat kedua jelas bermakna orang yang melahirkan kita. Yang ketiga bermakna orang yang kita hormati seperti orang tua yang melahirkan dan mengasuh kita.

Tidak usah lebai, kalau tidak dibedakan cara penulisannya orang akan salah memaknai.

Tidak ada alasan

qoute
Kedua, orang tua adalah kata majemuk. Orang tua yang bermakna adanya hubungan kekerabatan atau darah dan moral tidak boleh bisa disisipi dengan kata lain di antara keduanya.

Misalnya saya menulis, kita harus menghormati orang tua, ini bermakna orang yang memiliki kekerabatan atau orang yang melahirkan kita. Akan berubah maknanya bila ditulis kita harus menghormati orang yang sudah tua, frasa orang tua menjadi kata umum.

Ketiga, alasan mengapa orang tua harus dipisah adalah orang tua adalah sejajar pembentukannya dengan kata lain yang memakai kata orang. Misalnya, orang tua, orang muda, orang botak, orang lucu, orang cantik.

Kita juga tidak membedakan penulisan orang tua yang bermakna orang yang melahirkan atau memiliki kekerabatan dan orang yang sudah tua. Kita jangan mengada-ngadalah.

Jadi, ingat tidak ada alasan untuk menulis orang tua menjadi orangtua. Namun, kalau mau terlihat beda (tapi salah), silakan. Salam.

Baca juga:

Rabu, 09 Juli 2025

Kenapa Harus Miring, Enggak Enak Tahu

Image by <a href="https://pixabay.com/users/pexels-2286921/?utm_source=link-attribution&utm_medium=referral&utm_campaign=image&utm_content=1853507">Pexels</a> from <a href="https://pixabay.com//?utm_source=link-attribution&utm_medium=referral&utm_campaign=image&utm_content=1853507">Pixabay</a>

APA ENAKNYA miring? Relatif sih jawaban, yang suka pasti akan bilang memang harus miring, yang tidak suka bakal bilang ngerepotin. Tapi, yang pasti suatu posisi yang tidak normal akan menarik perhatian. Itulah yang terjadi dengan huruf miring.

Teman muda saya datang lagi, kali ini mengelauh, kenapa ya ada huruf miring, memang fungsinya apa? Langsung saya jawab, huruf miring itu untuk menulis judul buku, nama media massa, kata asing, atau frasa atau istilah yang ingin ditekankan. Dengan cuweknya teman saya itu berujar, “Sudah tahu.” Saya hanya menahan napas, tapi saya  tahu yang dia maksud: kenapa huruf-huruf itu harus miring. 

Tapi, ups, saya ingat, dia pasti ingin menanyakan alasan logis kenapa judul buku, nama media massa, kata asing, dan menekankan istilah atau frasa harus ditulis dengan huruf miring. Masih ingat, dong, dia juga pernah menanyakan hal yang sama mengenai huruf besar atau kapital.

Okelah, saya akan menjawab pertanyaan itu. Kalau soal bagaimana menggunakan huruf miring, ada PUEBI. Kalau alasan kenapa ada huruf miring, dibolak-balik itu PUEBI tidak bakal ada. Untuk memenuhi rasa penasaran teman saya itu, saya akan menjelaskan.


Meminta perhatian

Sebenarnya hampir tidak jauh berbeda sama penggunaan huruf besar. Huruf miring dibuat untuk menyadarkan pembaca bahwa yang dihadapi bukanlah kata atau frasa yang biasa. Ini saya rasa alasan paling logis. Ketika kita membaca tiba-tiba ada kata yang dimiringkan, itu artinya kata itu menuntut perhatian. Misalnya:

Perjalanan ke rumah itu sangat jauh sehingga membuat keringat dweleran.
Saya membaca buku Siti Nurbaya ketika masih kelas enam SD.

Ketika bertemu kata dweleran, apalagi huruf dimiringkan, orang lansung ngeh bahwa kata itu minta perhatian karena bukan kosa kata bahasa Indonesia melainkan kosa kata bahasa Jawa. Lalu, pada kalimat kedua, Siti Nurbaya jelas itu judul buku, konteks kalimatnya sudah menunjukkan itu. Namun, bagaimana bila tidak menggunakan kata buku.

Kalau saya menulis "Saya menemukan Siti Nurbaya di Senen di antara tumpukan sampah", lalu saya menulis lagi "Saya menemukan Siti Nurbaya di Senen di antara tumpukan sampah". Pada contoh pertama, orang langsung yakin bahwa itu adalah nama orang. Namun, pada contoh berikut, dengan memiringkan atau menggarisbawahi Siti Nurbaya, orang langsung tahu bahwa itu hanyalah sebuah buku. 

Dari sini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa huruf miring juga bisa memberi makna pada kata atau frasa. Catatan: huruf miring bisa diganti dengan garis bawah bila memang tidak memungkinkan untuk membuat huruf miring.

Jadi, mengapa huruf harus miring, pertama, karena kata atau frasa yang dimiringkan itu meminta perhatian khusus; kedua, huruf miring juga bisa memberi makna pada kata atau frasa. Ada alasan lain? Ya, pasti ada. Silakan.

Baca juga:

Selasa, 08 Juli 2025

Bro, Ternyata Media Online Bukan Tanpa Batas

Image by <a href="https://pixabay.com/users/mike_ramirez_mx-8422469/?utm_source=link-attribution&utm_medium=referral&utm_campaign=image&utm_content=6380562">Mike Ramírez Mx</a> from <a href="https://pixabay.com//?utm_source=link-attribution&utm_medium=referral&utm_campaign=image&utm_content=6380562">Pixabay</a>

DI AWAL kemunculannya, media online pernah dianggap sebagai ruang tanpa batas bagi para jurnalis. Banyak yang mengira bahwa di dunia digital, tulisan bisa dibuat sepanjang-panjangnya, tidak seperti di media cetak yang dibatasi oleh ukuran halaman dan ruang kolom. Pemikiran ini cukup masuk akal, karena media digital memang tidak mengenal batas fisik seperti kertas. Namun, kenyataan di lapangan justru berkata sebaliknya.

Alih-alih bisa menulis sepanjang mungkin, jurnalis media online justru dituntut untuk menulis dengan lebih ringkas. Bahasa jurnalistik yang padat, singkat, dan jelas tetap menjadi kebutuhan utama, bahkan semakin mendesak.

Jika di media cetak tulisan sepanjang 800 hingga 1.200 kata masih dianggap wajar, maka di media online, tulisan sepanjang 300 kata saja sudah tergolong panjang. Sebagian besar pembaca media digital lebih menyukai informasi yang cepat dicerna, mudah dipahami, dan tidak memakan waktu lama untuk dibaca. Ini selaras dengan pola konsumsi informasi di era digital yang serba cepat.

Kenapa harus ringkas?

Ada beberapa alasan utama. Pertama, karakter pembaca media online memang berbeda. Mereka lebih suka membaca sekilas, memindai cepat, dan hanya mencari inti informasi. Kedua, media online kini berlomba-lomba menyajikan berita tercepat. Kecepatan menjadi nilai jual utama. Pembaca ingin segera


tahu apa yang sedang terjadi, dan media pun berusaha memenuhi itu dalam waktu yang sangat singkat. Bahkan, dalam banyak kasus, media online bisa mengalahkan televisi dalam kecepatan pemberitaan.

Namun, dampak negatifnya juga terasa. Karena mengejar kecepatan, kualitas bahasa sering dikorbankan. Salah ketik, kalimat tidak efektif, hingga struktur paragraf yang kacau jadi hal yang sering ditemui. Tingkat kerapihan bahasa pun menurun drastis.

Dari  uraian yang juga pernah disampaikan dalam linkedin itu, sudah saatnya kita melakukan perubahan. Kecepatan memang penting, tapi ketepatan dan kerapihan dalam menyampaikan informasi tidak boleh dikesampingkan. Media online harus tetap menjunjung tinggi kualitas bahasa jurnalistik. Salam.

Baca juga:

Senin, 07 Juli 2025

Inilah 2 Alasan Menulis Tangan Bisa Perbaiki Kualitas Tulisan

SAYA TEGAS melarang peserta kelas menulis saya untuk mengetik dengan gawai. Mereka harus menulis tangan tugas menyalin cerita dari penulis idolanya. Bisa jadi mereka bilang saya kuno. Biarlah, itu karena mereka belum tahu mengapa saya ngeyel harus mengerjakan tugas dengan menulis tangan.

Ada dua hal yang membuat saya bersikeras mereka harus mengerjakan tugas dengan menulis tangan. Pertama, menulis dengan tangan membuat materi yang ditulis lebih melekat ke otak ketimbang dengan mengetik di gawai. Kedua, menulis dengan tangan membuat kita menguasai cara menulis seperti penulis idola kita.

Hal seperti itulah yang memaksa saya tegas. Peserta kelas menulis harus menyalin cerita dari penulis idolanya di atas kertas. Perihal meniru ini silakan melihat artikel saya sebelumnya. Mari kita simak, apa lagi dua alasan tersebut.

 

1. Menulis tangan bikin materi lebih melekat di ingatan

Ada beberapa ahli yang bilang, menulis dengan tangan akan membuat apa yang ditulis melekat lebih lama di ingatan. Dengan alasannya ini beberapa universitas di Australia meminta mahasiswanya untuk menyimpan laptopnya. Mereka diminta mencatat kuliah dosennya dengan menulis tangan di notebook.

Mengapa apa yang ditulis tangan lebih melekat di otak? Menurut Dr Helen Macpherson , menulis itu tidak sama dengan mengetik., “Menulis merupakan kerja sama antara bahasa dan sistem gerak (motorik-pen),” ujar Helen Macpherson seperti yang disampaikan kepada Huntintongpost. Macpherson adalah peneliti dari the Institute for Physical Activity and Nutrition (IPAN) pada Universitas Deakin Australia

Sejatinya bukan cuma itu. Menulis dengan tangan itu juga melibatkan sensorik. Keterampilan motorik halus dan sensorik membuat menulis  di atas kertas mengaktifkan otak. Dengan begitu, apa yang ditulis dengan tangan akan lebih lama melekat dalam ingatan.

Adapun kalau kita mengetik, yang terlibat hanya motorik dan bahasa. Hanya keterampilan mengetik dan bahasa. Dalam mengetik dengan gawai, orang hanya mengetik huruf, yang tentu saja tidak mempunyai makna. Adapun menulis tangan, orang mengetik kata. Artinya, orang sekaligus memahami maknanya.

Saya juga berkeyakinan, menulis tangan akan membuat orang lebih paham dengan apa yang ditulisnya. Dalam mengajar menulis, terutama pada tahap awal, saya selalu menganjurkan menulis tangan daripada mengetik dengan gawai.

Bahkan, menulis tangan juga memiliki manfaat untuk yang membacanya. Peneliti di Norwegian Center for Learning Environment and Behavioural Research in Education yang menemukan itu. Peneliti mengungkapkan bahwa membaca teks tulisan tangan mengaktifkan berbagai bagian otak daripada membaca teks yang diketik.

Nah, jadi kenapa kita tidak menulis tangan untuk sesuatu yang memang tidak harus diketik dengan gawai. Itu jika ingin menarik manfaat dari menulis tangan.

 

2. Menulis tangan memperbaiki kualitas tulisan

Adalah Joe Vitale dalam buku Hypnotic Writing menyebutkan beberapa manfaat tulisan tangan. Menurut Vitale, jika ingin mendapatkan tulisan sebagus tulisan maestro salinlah tulisannya itu dengan tulisan tangan.


Dengan menulis tangan kita jadi bisa merasakan bagaimana ketika penulis idola kita melakukan pekerjaannya. Bagaimana dia membuat kalimat? Misalnya berapa kata panjang kalimat. Kita juga bisa merasakan kelezatan pilihan kata sang idola.

Tentunya ini bermanfaat untuk para pembelajar menulis yang merasa tidak bisa membuat kalimat. Salinlah dengan tulisan tangan, tulisan idola atau tulisan yang dianggap baik. Dengan begitu, kita jadi bisa memiliki style yang sama dengan penulis tersebut dalam menulis.

Mengapa bisa seperti itu? Seperti saya sampaikan di atas, menulis tangan merangsang otak untuk menyimpan lebih lama apa yang kita tulis. Nah, jika apa yang tersimpan di otak diulang terus-menerus, tentu saja akan membuat kita makin terampil. Kita akan memiliki style yang hampir sama dengan penulis idola kita.

Itu artinya kita meniru, ya, tidak apa-apa. Pada akhirnya kita akan menemukan style kita sendiri. Tidak usah khawatir. Yang perlu dikhawatirkan adalah jika kita baru melakukan latihan sekali, lalu tidak melakukan apa-apa lagi. Sia-sia semua yang dipelajari.

Menulis adalah keterampilan, tidak ada hubungannya dengan bakat. Semakin sering berlatih, semakin mahir. Salah satu latihan yang bagus untuk memperbaiki kemampuan menulis kita adalah menulis tangan. Salam. 

Baca juga:

Minggu, 06 Juli 2025

Bahasa Betawi Enggak Bertingkat, Tapi Ada Etikanya

Bahasa Betawi enggak bertingkat, tapi sopan santun tetap ada. Bahasa Betawi enggak bertingkat, kalau bertingkat itu namanya loteng. Eng, ing, eng….

BAHASA MELAYU dialek Jakarta yang biasa disebut bahasa Jakarta atau Betawi agaknya sudah menjadi bahasa gaul bagi seluruh penduduk Indonesia. Bahkan, bahasa ini telah menjadi semacam identitas bagi remaja di daerah bahwa mereka adalah remaja metropolis, bukan remaja kuno.

Malahan juga, kebisaan berbahasa Jakarta dianggap sebagai modal untuk melangkah guna mengadu nasib ke Jakarta.

Bahasa Jakarta dianggap lebih memiliki nilai ekonomis ketimbang bahasa daerahnya sendiri. Agaknya itu juga yang membuat daerah mengeluh makin enggannya remaja mempelajari bahasa daerahnya.

Tingkat keekonomian bahasa ini kemudian dibuktikan dengan kembalinya para perantau dari Jakarta ketika Lebaran. Mereka dianggap berhasil dan berbahasa Jakarta seolah tidak paham bahasa daerahnya sendiri.

Sayangnya, saat ini ada yang salah dalam memahami bahasa melayu dialek Jakarta itu. Bahasa Betawi tidak mengenal tingkatan bahasa, seperti bahasa Jawa yang punya bahasa ngoko dan krama. Namun, setiap bahasa memiliki etika atau tingkat kesantunan. Inilah yang tidak diperhatikan oleh para penutur bahasa Jakarta—terutama yang memang baru bisa berbahasa Jakarta.

https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Pencak_Silat_Betawi_2.jpg

Ada etikanya

Banyak orang dari luar yang belum begitu lama mengenal budaya Betawi, dengan jumawanya ber-lu-gua dengan orang yang lebih tua. Dia belum tahu, bahasa Betawi biarpun tidak mengenal tingkatan dalam berbahasa, tapi mengenal etika.

Tetap ada perbedaan berbicara dengan teman dan orang tua. Apalagi, sedari kecil sudah ditekankan untuk menghormati orang yang lebih tua. Songon bener, kalau sama orang tua ngomongnya seperti itu. Misalnya, ketika seorang nenek-nenek sedang berjalan, dia menyapa, “Nek, mau ke mana? Lu enggak ngajak cucu lu.”

Itu jelas anak muda yang kagak ada sopan santunnya. Anak seperti ini mah kudu dikurung bareng sama buaya, biar kapok.

Memang, sih, bahasa yang tidak ada tingkatannya, tidak memiliki kata khusus, untuk membedakan ketika berbicara dengan lawan bicara tertentu. Namun, etika bisa membuat penutur memilih kata yang sesuai dengan kondisi lawan bicaranya. Jangan sampai dikurung bareng buaya ya. Salam.

Baca juga:

Sabtu, 05 Juli 2025

Apa Kabar Lenong Betawi?

Lenong betawi dulu pernah berjaya. Setiap hajatan orang selalu menanggap lenong untuk hiburannya semalam suntuk. Namun, waktu telah mengggerus kepopulerannya. Revitalisasi sudah, dukungan sudah. Si teater tradisional Betawi ini tetap saja melenggang di jalan sepi.

LENONG betawi kian samar keberadaannya, seakan tenggelam di tengah kesibukan kota yang kian tak peduli pada panggung tradisi. Padahal, pada era 1950 hingga 1970-an, lenong sempat menjadi primadona hiburan masyarakat Betawi.

Ketika itu, lenong betawi bukan hanya pertunjukan, melainkan juga ajang kegembiraan yang mempererat warga kampung. Setiap hajatan besar—mulai dari pesta pernikahan, khitanan, hingga acara syukuran—nyaris selalu menghadirkan lenong sebagai hiburan utama. Penonton tak segan bergadang semalaman hanya untuk menikmati kisah-kisah lucu, cerita kepahlawanan, hingga sindiran sosial yang dibawakan para pemain lenong dengan bahasa Betawi yang khas.

Kejayaan lenong di masa itu didukung erat oleh suasana masyarakat yang masih akrab dan guyub. Kehidupan sosial yang lekat memberikan ruang bagi lenong tumbuh subur sebagai cermin kehidupan sehari-hari: menertawakan kesulitan hidup, mengkritik perilaku serakah, serta menyampaikan pesan moral yang mengena. Namun, seiring perkembangan zaman, modernisasi menghadirkan bentuk hiburan praktis dan cepat.

 

https://commons.wikimedia.org/

Bisa punah si lenong

Kemunculan televisi, diikuti internet, mengubah cara orang menikmati tontonan. Perlahan, lenong mulai kehilangan penggemar. Acara hajatan yang dulu ramai menanggap lenong, kini lebih memilih hiburan seperti organ tunggal atau musik dangdut yang dianggap lebih modern dan sesuai dengan tren.

Saat ini, lenong betawi hanya sesekali tampil di acara budaya atau festival kesenian Betawi. Tentu saja kita tidak ingin lenong musnah.  Sebab, kata Koentjaraningrat (dalam Pengantar Antropologi [2009]), “Kebudayaan tradisional yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman akan terpinggirkan.”

Sepinya peminat membuat para seniman lenong harus berinovasi agar tetap eksis, misalnya dengan membuat lenong bertema isu kontemporer, serta mempersingkat durasi pementasan agar sesuai selera penonton zaman sekarang. Upaya tersebut patut diapresiasi meski jalan ke depan tidak mudah. Itu memang sudah harus dlakukan. “Kesenian tradisional seperti lenong perlu revitalisasi agar bisa bertahan di tengah perubahan zaman,” kata Ratna Riantiarno, pendiri Teater Koma kepada Tempo (2010).

Kita harus ingat bahwa lenong betawi lebih dari sekadar hiburan; ia merekam identitas, bahasa, humor, dan nilai-nilai kearifan lokal Betawi. Jika tidak ada usaha serius untuk merawat dan menghidupkannya, lenong yang menjadi kebanggaan orang Betawi itu bisa punah ditelan waktu. Sudah saatnya semua elemen—mulai dari masyarakat, pemerintah, hingga pelaku seni—bersatu menjaga lenong agar tetap hidup dan bersinar, bukan sekadar cerita yang terlupa di masa depan. Salam.

Baca juga:

Jumat, 04 Juli 2025

Catatan Lomba Penulisan Feature FLS3N Bogor

FL3SN Bogor 2025

SAYA BERKESEMPATAN menjadi juri lomba menulis feature di FLS3N Kota Bogor pada pekan pertama Juli 2025 ini. Menarik, banyak potensi yang baik.  Ada ide-ide baru yang disampaikan peserta, ada konten-konten yang memikat. Wah, saya sampai terlonjak gembira.

Sayangnya, eksekusinya kebanyakan belum bagus. Menurut saya, faktor yang membuat tulisan peserta kurang maksimal, ada pada sisi pelatih atau pembimbing maupun siswa sendiri. Yang saya soroti adalah pembimbing atau pelatih. 

Kebanyakan sekolah hanya mengandalkan guru bahasa Indonesia. Padahal, tidak semua guru bahasa Indonesia menguasai penulisan jurnalistik, terutama feature. Alhasil, tulisan yang disampaikan peserta tidak tereksekusi dengan baik. Banyak arahan yang akhirnya membuat siswa hanya sekadar ikut lomba, bukan menghasilkan karya yang baik.

 

Ada naskah yang tak memenuhi syarat

FLS3N 2025 Bogor

Pada lomba menulis feature yang digelar di SMA YPHB itu terkumpul 15 naskah, namun ada 5 naskah tidak memenuhi syarat. Dua naskah terlalu pendek, sementara tiga naskah tidak masuk kriteria penilaian lomba. Salah satu kriteria utama adalah penerapan kaidah jurnalistik. Namun, ada naskah yang hanya berisi tinjauan pustaka, atau hanya menguraikan persoalan dari perspektif sendiri tanpa satu pun sumber.

Dari naskah yang memenuhi kriteria, banyak judul tidak jelas atau tidak sesuai isi. Ini menunjukkan kurangnya pengarahan pembimbing. Misalnya, artikel berjudul:

"Wayang Bambu: Aset Kesenian Khas Bogor Raya dalam Memerangi Globalisasi, Tak Banyak yang Tahu!"

Ternyata isinya hanya profil Ki Dalang, tokoh wayang bambu. Seharusnya jika judulnya seluas itu, sumbernya bukan hanya Ki Dalang, tetapi juga tokoh budaya lain atau pemegang kebijakan.

Ada juga judul yang tidak menunjukkan isi sama sekali, misalnya:

  • “Pena dan Kuas yang Terus Terjaga Mengikuti Cahaya Petunjuk”
  • “Merintis Moralitas dalam Bermasyarakat, Membangun Generasi Berbudaya di Era Modern”

Judul pertama hanya cerita tanpa refensi. Adapun judul kedua yang cukup mentereng ternyaata berisi profil Ki Dalang.  

Namun, ada judul yang tepat dan sesuai isi, misalnya:

“Abah Wahyu Tak Lelah Menempa Nilai Luhur Kujang”

Banyak tulisan feature yang dikirim tidak memiliki lead atau teaser. Padahal, jika diibaratkan toko, lead itu seperti etalase yang menarik orang untuk masuk. Lead juga memandu pembaca memahami apa yang akan dibaca.

Contoh lead yang bagus:

“Mendengar kata kujang, apa yang tersirat dalam benak kita? Betul, kujang merupakan senjata tradisional suku Sunda, bahkan menjadi simbol Kota Bogor. Namun, kujang bukanlah sekadar simbol, ada nilai-nilai luhur yang tersimpan di dalamnya. Nilai-nilai luhur itulah yang dijaga berpuluh-puluh tahun oleh Abah Wahyu.”

Lead ini benar-benar mengantar pembaca ke isi yang memuat profil pembuat kujang.

 

Gaya bertutur dan atribut sumber

qoute
Secara umum, bahasa tulisan relatif sudah baik. Namun, ada juga yang keliru dalam penulisan paragraf, dan beberapa naskah menggunakan bahasa terlalu formal sehingga tidak enak dibaca. Mungkin pembimbing lupa, menulis feature itu menuliskan fakta dan data dengan gaya kreatif dan bercerita.

Banyak peserta tidak memanfaatkan atribut atau data fisik sumber. Akibatnya, penyebutan sumber hanya “ia/dia” dengan nama, membuat pembaca jenuh. Contoh yang kurang baik:

“Begitu Bu Dewi mempersilakan untuk mencoba membatik, sontak antusiasme saya langsung meningkat. Sembari memanaskan malam (tinta membatik), Bu Dewi bercerita mengenai keluh kesahnya…”

Akan lebih baik jika atribut ditambahkan, misalnya:

“Begitu Bu Dewi mempersilakan untuk mencoba membatik, sontak antusiasme saya meningkat. Sembari memanaskan malam, perempuan berhijab itu bercerita mengenai keluh kesahnya…”

Catatan ini menunjukkan bahwa banyak pembimbing belum paham apa itu penulisan feature dan jurnalistik. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua, agar siswa mendapat pembinaan yang tepat. Barangkali sekolah perlu menjadikan jurnalistik sebagai ekstrakurikuler atau  sering mengadakan pelatihan jurnalistik. Salam.

Baca juga:


Selasa, 01 Juli 2025

Upin Ipin Itu…

SECARA TIDAK sengaja saya menonton kartun Upin Ipin. Tidak sengaja karena yang mengganti saluran televisi  adalah para keponakan dan saya sedang duduk di situ. Upin Ipin diproduksi oleh sebuah rumah produksi di negara jiran kita (Malaysia) yang terkadang mengesalkan itu. Adalah Les’ Copaque Production Sdn. Bhd. yang memproduksi kartun dengan karakter dua bocah gundul ini pada 2007.

Lalu masuk ke Indonesia pada 2008 dan digemari hingga sekarang. Sudah 17 tahun. Sejatinya cerita yang ditampilkan Upin Ipin biasa saja. Tema yang digarap masih berkisar tema umum yang digunakan dalam cerita anak. Misalnya cerita soal menjaga kebersihan.  Nah, kebetulan yang saya tonton ini cerita Upin Ipin yang bertajuk “Jaga Kebersihan” . 

Menggunakan bahasa kebaikan

Dalam cerita itu, Upin, Ipin, dan teman-temannya diajak membersihkan kampung bersama-sama. Kampung mereka kotor karena banyak sampah berserakan.  Nah, Kak Ros dan Tok Dalang turun tangan membimbing bocil-bocil yang agak resek itu. Dari sini dua bocah undul dan teman-temannya belajar pentingnya menjaga kebersihan sebagai tanggung jawab bersama. Episode ini menanamkan kesadaran pada anak-anak tentang dampak sampah bagi kesehatan dan lingkungan. Jadi, bagus bukan sebagai tontonan anak.

Perihal buruknya gawai, Upin Ipin juga punya. Dengan tajuk  “Ketagihan Gajet”, Upin, Ipin, dan teman-temannya diceritakan mulai kecanduan bermain game di tablet dan ponsel. Waktu mereka banyak dihabiskan untuk memelototi gawai daripada bermain di luar. Akibatnya, mereka jadi malas belajar, kurang berinteraksi, dan fisik mereka terlihat lesu.  Kak Ros dan Opah kemudian mengingatkan mereka pentingnya keseimbangan, membatasi penggunaan gawai. 

Nah, saya tidak mempromosi Upin Ipin, namun cerita adik-adik Kak Ros ini cukup bagus sebagai bahan edukasi mengenai perilaku baik dan bermanfaat. Kartun ini telah menggunakan bahasa kebaikan.  Marks Twain pernah bilang, “Kindness is a language which the deaf can hear and the blind can see.” Kebaikan adalah bahasa yang dapat didengar oleh orang tuli dan dilihat oleh orang buta. Eh, saya tidak sengaja mengatakan itu ya. Salam.

Baca juga:

Bertemulah Biar Bahagia

APA YANG membahagiakan saya? Jawabannya sederhana: bertemu kawan lama. Seperti kata Charles Dickens, “The pain of parting is nothing to the joy of meeting again.” Sakitnya berpisah tak seberapa dibandingkan bahagianya saat bertemu kembali. Itulah yang saya rasakan pada 1 Muharam 1447 H lalu, ketika akhirnya saya bisa mengunjungi Kembang Sepatu, kawan lama yang sedang berpameran di Balai Budaya. Langkah saya penuh antusiasme, ada rindu karena lama tak bersua.

Begitu bertemu, kami langsung tertawa dan mengobrol tanpa jeda. Kami bertanya kabar, berbagi cerita tentang perjalanan hidup yang penuh warna, saling menertawakan kenangan masa lalu, dan tak lupa berfoto bersama untuk mengabadikan kebahagiaan yang tak ternilai itu. Suasana hangat itu semakin lengkap dengan diskusi singkat tentang seni dan mimpi-mimpi yang masih ingin kami wujudkan.

Bahagia itu ternyata sangat sederhana. Hanya dengan duduk bersama, mendengar suara lama yang dirindukan, melihat senyum yang pernah akrab, semua lelah dan kejenuhan seolah sirna. Kebahagiaan seperti ini mengajarkan saya bahwa kita sering kali keliru mencari kebahagiaan di tempat yang jauh atau pada hal-hal yang besar. Padahal, kebahagiaan sejati hadir dalam momen kecil yang tulus, dalam kebersamaan yang diwarnai cinta dan persahabatan.

Kebahagiaan itu sederhana, karena hanya butuh kehadiran dan ketulusan untuk bisa saling menguatkan, meski waktu pernah memisahkan. Pertemuan kembali ini menjadi pengingat betapa berharganya sahabat yang setia, dan betapa rindu yang lama terpendam justru membuat pertemuan itu semakin indah. Terima kasih untuk semua teman yang sudah membahagiakan.  Salam.

Baca juga: